Artikel Kategori // UNAS

Musim Ujian Nasional (UNAS) telah tiba, luar biasa persiapan yang dilakukan oleh siswa dan orang tua/wali siswa untuk menyambut kehadiran Ujian Nasional, mulai dari aktivitas yang sifatnya akademis sampai aktivitas yang bersifat “non-akademis”, semua dilakukan demi kelulusan seorang anak dengan nilai yang memuaskan. Beberapa rekan saya sudah memberikan les diluar jam belajar untuk mendukung keberhasilan putra-putrinya. Disisi lain saya menyimak di beberapa media doa bersama dilakukan, bahkan sampai mendatangi orang pintar, yang katanya bisa memberikan perangkat tulis yang mengakibatkan bisa menjawab pertanyaan dengan baik. Luar biasa memang apa yang dilakukan, seolah hajatan nasional yang namanya unas ini menjadi perang luar biasa.
Ketika hasil UNAS telah diumumkan , sekolah dan guru menganggap seorang anak yang tidak lulus atau mendapatkan nilai jelek seolah-olah menjadi aib bagi sekolah mereka. Apalagi di era otonomi ini, dimana setiap kepala daerah – pada masa kampanyenya- selalu menjanjikan kualitas tingkat pendidikan semakin baik, tapi apa iya tingkat kualitas pendidikan baik itu hanya atas dasar parameter tingkat kelulusan unas atau nilai Unas ? Menurut saya bukan itu hakekat unas, tapi melalui parameter tersebut dapat dinilai bahwa ada sebuah proses yang salah dalam dunia pendidikan di daerah, entah itu terkait dengan ketersediaan sarana dan prasarana, kemampuan mengajar guru, kondisi lingkungan dan lain sebagainya. Tingkat kelulusan dan nilai unas lah paramater yang digunakan untuk mengevaluasi itu semua dan memperbaiki setahap demi setahap. Ibaratnya begini, kalau hasil penjualan mengalami penurunan apakah langsung di justifikasi bahwa “hanya” tim penjualan yang (maaf) goblok ? Tentu tidak toh, harus di kaji juga, apakah produknya baik, stategi yang diterapkan sesuai, mekanisme promosi dan komunikasi dengan costumer dan lain-lain.
Orang tua dan masyarakat pun setali tiga uang, ketika seorang tidak lulus, dia pasti akan dipergunjingkan, jika pun lulus, nilai seorang anak yang satu dengan yang lain pasti di adu. Sekarang saya balik pertanyaan itu bagi anda yang mencari nafkah entah seorang ayah atau seorang ibu. Ketika anda sudah berusaha mati-matian mencari nafkah, kemudian apa yang anda hasilkan masih belum mencukupi atau bahkan membuahkan hasil, senangkah anda dihina orang lain. Senangkah anda di banding-bandingkan dihadapan semua orang, oh penghasilan si anu lebih besar, si anu bisa membeli ini itu dengan penghasilannya ? Apakah lalu kemudian anda menghalalkan dengan segala cara untuk mendapatkan penghasilan melimpah ruah bahkan dengan korupsi atau mencuri ? Atau jika penghasilan anda luar biasa besarnya, patutkah anda menyombogkan diri dengan menggembar gemborkan penghasilan anda ? Sadar atau tidak, kita telah menanamkan benih-benih tersebut pada anak-anak kita.
Yang menjadi titik tekan disini adalah bahwa UNAS hanya merupakan instrumen evaluasi. Evaluasi dari apa ? evaluasi dari proses pendidikan yang dijalani oleh seorang anak selama ini. Baik di sekolah, maupun di luar sekolah. Sehingga dengan adanya instrumen tersebut setiap pihak dapat berbenah, terhadap apa-apa yang dianggap kurang. Karena perannya “hanya” sebagai instrumen evaluasi dengan obyek “penderita” peserta didik maka sebaiknya diharapkan dengan keluarnya hasil unas kelak dapat menjadi bahan evaluasi terhadap seluruh proses belajar baik di rumah, sekolah dan lingkungan sekitar.
Untuk para adik-adikku yang sedang ikut unas, berusahalah sebaik dan semaksimal mungkin, kerjakan sesuai dengan kemampuan anda, kejujuran jauh lebih penting daripada hasil unas yang memuaskan yang dihasilkan dari kecurangan. Nilai kurang memuaskan dan ketidak lulusan juga hanya merupakan evaluasi buat anda sekalian, ingat memperbaiki atau mengulang pun bukan hal tabu, daripada anda memaksakan diri yang mengakibatkan timbulnya masalah pada saat jenjang lebih tinggi.
Artikel Terkait
Terdapat 7 Komentar pada "Unas “hanya” sebuah instrumen evaluasi"
Anda harus login untuk berkomentar. Login Sekarang
Penulis Lainnya

Wahyu yoyok
Penulis ini masih malu-malu menuliskan sedikit tentang Biografinya- Grosir jilbab Murah 25 July 2017 - 09:30
Komentar Terbaru
- Etos Kerja Guru PNS yang Buruk 10 Tahun yang lalu
- Cetak Kartu Digital NUPTK/PegID 9 Tahun yang lalu
- Bangga memiliki email user@madrasah.id 8 Tahun yang lalu
- Syarat Mengikuti Verval Inpassing 8 Tahun yang lalu
- KITAB SIAP PADAMU NEGERI v1.0 9 Tahun yang lalu
Kategori
- Lain-Lain (984)
- Pendidikan (446)
- Informasi Umum (360)
- Opini & Ide (218)
- Tips & Trik (192)
- Teknologi (94)
- Internet & Media Sosial (83)
Kaitan Populer
Robert Davis Chaniago
|Unas masih menjadi momok menakutkan gan… ndak lulus bisa stress 😀
Reza Andria
|Stress karena paradigma bahwa ga lulus itu aib dan berarti kiamat.. Kalau anda udah kuliah atau sudah lulus kuliah, inget-inget deh ketika anda ga lulus suatu mata kuliah, rasanya “biasa” aja toh. Ini cuman masalah presepsi yang udah terlanjur salah
RIAMIN
|Lulus dan Tidak Lulus anak sekolah dan anak kuliahan adalah persoalan yg berbeda bos. Seandainya anak sekolah modelnya kayak anak kuliah, wah tenang tuh orang tua. Anaknya yg kuliah gak lulus pun mereka gak tahu, tentu aja mereka gak stress.
Muhammad Arfiandi
|Bener gan, tapi yang paling setres yah guru-gurunya.
Reza Andria
|Guru stress, karena kinerjanya juga bakal dieveluasi. Kalau pada jelek pasti kena hehehe. Belum lagi tugas negara untuk mengawasi dsb, ngajar dsb. Hehehe.
RIAMIN
|Kalau Kinerja guru yang dievaluasi pasti baik bos. Persoalannya sekarang adalah dalam sekolah tersebut adakah dukungan Peserta didik dan Wali Murid untuk membuat anaknya sukses? Kadang anak tidak termotivasi walau gurunya udah S2 semua sekarang ini. Jk guru hanya dievaluasi begitu aja, ya gampang toh hanya mempersiapkan diri saat dievaluasi aja???
Soban Rosadi
|Fotonya kurang menarik gan, seolah-olah menggambarkan seorang siswa yang sedang menanggung beban yang sangat berat (psikologi).