Artikel Kategori // Lain-Lain
Perlukah Menghapus Pelajaran Bahasa Inggris di Tingkat Sekolah Dasar?
Sigit Aprisama
(Guru Bahasa Inggris SD di Singkawang)
Pemilihan pengajaran bahasa Inggris pada jenjang Sekolah Dasar yang termasuk dalam ranah Muatan Lokal (Mulok) sudah dimulai sejak tahun 1994. Dengan adanya kebijakan tersebut, setiap daerah berlomba-lomba mengajarkan bahasa Inggris di jenjang SD. Bahkan ada juga yang memulainya pada jenjang Taman Kanak-kanak. Mulok bahasa Inggris menjadi Mulok wajib di beberapa daerah. Akan tetapi pembelajaran bahasa Inggris pada jenjang SD tersebut menjadi dilema sekarang semenjak diberlakukannya Kurikulum 2013 yang dimulai pada Tahun Pelajaran 2013/2014 pada jenjang SD yaitu di kelas I dan kelas IV. Isu pertama yang muncul adalah menghapus pelajaran bahasa Inggris pada jenjang SD, kemudian berubah dengan dijadikannya pelajaran tersebut pada kegiatan ekstrakurikuler (draft uji publik kurikulum 2013). Selanjutnya, pelajaran bahasa Inggris pada jenjang SD kembali menjadi mata pelajaran muatan lokal seperti pada Kurikulum KTSP.
Mata pelajaran muatan lokal merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat diajarkan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hal ini berdasarkan pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu pada BAB X pasal 37 yang kemudian diperjelas dalam Peraturan Pemerintah nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada pasal 77N. Peraturan Pemerintah tersebut kemudian diperjelas kembali dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum yang dijabarkan pada Lampiran 2 Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang Pedoman Pengembangan Muatan Lokal. Berdasarkan Permendikbud tersebut, salah satu komponen pelajaran Muatan Lokal yang bisa diajarkan adalah bahasa Inggris dan di dalam pelaksanaannya harus ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah terbagi menjadi 2 bagian yaitu Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang untuk melaksanakan Mulok pada jenjang Pendidikan Dasar yaitu SD dan SMP, sedangkan Mulok pada jenjang Pendidikan Menengah (SMA, SMK, MA, dan MAK) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi (UU No. 20 tahun 2003 BAB X pasal 38; PP No. 32 Tahun 2013 Pasal 77P).
Berdasarkan Undang-Undang yang kemudian diperjelas dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Pendidikan, maka dasar pelaksanaan mata pelajaran muatan lokal sangatlah kuat. Akan tetapi terdapat beberapa pendapat yang menyatakan perlu menghapuskan pelajaran bahasa Inggris pada jenjang pendidikan dasar. Salah satu alasannya adalah mempelajari bahasa asing akan mempengaruhi perkembangan bahasa ibu anak. Hal ini berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Madorah Smith pada tahun 1930an (Steinberg, 1999: 245). Melalui penelitian tersebut, Smith membandingkan data pada bahasa anak-anak yang belum sekolah di Iowa dan Hawaii. Di Iowa, anak-anak menggunakan satu bahasa yaitu bahasa Inggris, sedangkan di Hawaii anak-anak berlatar belakang etnik yang berbeda-beda (China, Philipina, Hawaii, Jepang, Korea dan Portugis) dan anak-anak tersebut adalah bilingual. Berdasarkan penelitiannya, anak-anak yang bilingual dari Hawaii banyak memiliki kesalahan dalam bahasa Inggris mereka daripada anak-anak yang berada di Iowa. Hal inilah yang menjadikan dasar bagi Smith untuk menyimpulkan bahwa bilingualisme menyebabkan gangguan pada perkembangan bahasa anak.
Penelitian Smith tersebut kemudian bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bereiter, Engelmann dan Basil Bernstein pada tahun 1960an (Steinberg, 1999: 245) yang mengklaim bahwa tidak ada standar pembicara bahasa Inggris. Mereka menyatakan masyarakat yang berkulit hitam dan masyarakat yang berkulit putih di Britain memiliki pengetahuan bahasa Inggris yang rendah ketika dibandingkan dengan pembicara bahasa Inggris yang standar. Penelitian ini kemudian berlanjut dengan hasil yang menakjubkan dari Labov dan peneliti-peneliti dalam bidang linguistik yang lain pada tahun 1960an dan 1970an yang menyatakan dialek non-standar dari bahasa Inggris setiap detilnya sama kompleksnya dengan dialek yang standar (Steinberg, 1999: 246). Selanjutnya, ada sebuah penelitian panjang yang dilakukan oleh Bruck dkk. pada tahun 1976 (dalam Steinberg, 1999:246) yang meneliti anak-anak yang merupakan pembicara asli bahasa Inggris di Prancis menyatakan bahwa anak kelas empat dan lima, keahlian bahasa kedua mereka yaitu bahasa Perancis, termasuk membaca dan menulis sama bagusnya dengan anak-anak pembicara asli bahasa Perancis. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, bisa dilihat bahwa tidak adanya pengaruh bagi anak dalam mempelajari bahasa selain bahasa Ibu mereka.
Sekarang bagaimana kasusnya dengan pelajaran bahasa Inggris di tingkat Sekolah Dasar? Setelah kita menyatakan dasar hukum yang kuat dan sekilas penelitian yang berhubungan dengan bilingualisme, mari kita lihat tentang pembelajaran bahasa kedua atau asing dari sudut pandang psikolinguistik yaitu yang berhubungan dengan Language Acquisition (Penerimaan Bahasa). Menurut Steinberg (1999: 203), terdapat dua faktor di dalam penerimaan bahasa kedua, yaitu faktor psikologis dan faktor sosial. Dalam faktor psikologis, kita harus mempertimbangkan proses intelektual yang berhubungan dengan struktur dan aturan tata bahasa, memori, yang mana berperan sangat penting dalam terjadinya pembelajaran, dan gerak, yang mencakup penggunaan artikulator untuk berbicara (lidah, bibir, pita suara, dan lain-lain). Pada proses intelektual, terdapat dua cara dalam mempelajari struktur dan aturan bahasa kedua: seseorang dapat menjelaskannya kepada kita (eksplikasi/dengan penjelasan) atau dengan cara menemukannya sendiri (induksi).
Pada faktor sosial juga terdapat dua bagian yaitu belajar dalam situasi yang natural dan belajar di ruangan kelas. Pada situasi yang natural, pembelajaran bahasa kedua sama dengan situasi yang digunakan anak dalam mempelajari bahasa asli mereka, yakni pengalaman bahasa dihubungkan dengan objek, situasi dan kegiatan sehari-hari mereka. Anak dapat menerima bahasa dalam situasi yang natural yaitu ketika anak berusia di bawah 7 tahun (Steinberg, 1999: 210). Sedangkan pada situasi kelas, pembelajaran bahasa kedua direncanakan. Guru merupakan pusat dari pembelajaran dan siswa datang untuk belajar. Siswa akan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh guru (Steinberg, 1999: 210-213). Pada usia 7-12 tahun, anak dapat menerima bahasa dalam situasi yang natural maupun pada situasi di dalam kelas (Steinberg, 1999: 209). Berdasarkan pendapat Steinberg tersebut, anak usia Sekolah Dasar (7-12 tahun) sudah bisa menerima bahasa selain bahasa ibu mereka. Hal ini dikarenakan cara anak dalam menerima bahasa kedua sama dengan anak dalam menerima bahasa pertama (Steinberg, 1999: 216).
Pembelajaran bahasa juga dapat dimulai semenjak dini. Ini dikarenakan pada umur 2-12 tahun terdapat masa critical age (usia kritis) pada anak (Lenneberg, 1967 dalam Darjowidjojo, 2003). Pada usia tersebut, anak akan mudah dalam menerima bahasa, hal ini dikarenakan belum terjadinya proses pemisahan fungsi otak kiri dan otak kanan pada anak (lateralisasi). Kemampuan anak dalam menerima bahasa akan berkurang ketika anak sudah memasuki usia pubertas (Darjowidjojo, 2003).
Tetapi yang perlu menjadi perhatian di sini adalah tenaga pengajar bahasa Inggris untuk anak-anak. Walaupun anak mudah dalam menerima bahasa, tetapi harus dilakukan dengan cara yang tepat dan sesuai dengan tingkat perkembangan mereka. Jika hal ini tidak dilakukan dengan benar maka akan berakibat terhadap perkembangan kognitif dan psikologis anak. Metode mengajar memegang peranan penting dalam hal ini. Seperti yang dikatakan Steinberg (1999: 209) bahwa anak lebih mudah menerima bahasa dalam situasi yang natural, maka metode yang harus diterapkan oleh guru yaitu mengajar dalam situasi yang natural. Hal ini bisa dilakukan dengan cara bermain, bernyanyi, menggambar, mewarnai, dan lain-lain yang berhubungan dengan karakteristik anak secara umum (Scott and Ytreberg 1995).
Melalui cara bermain dan bernyanyi anak akan lebih mudah mengingat pelajaran yang disampaikan. Di dalam kedua kegiatan tersebut, anak akan terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran sehingga mereka akan lebih aktif di dalam proses pembelajaran. Dalam permainan bisa disisipkan kalimat-kalimat sangat sederhana yang berhubungan dengan tema yang sedang dipelajari, begitu juga dalam lagu yang akan dinyanyikan. Dalam proses pembelajaran tersebut, guru harus bisa meramu proses pembelajaran yang berhubungan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki anak untuk dihubungkan dengan materi yang akan dipelajari. Ini dimaksudkan supaya proses pembelajaran akan berlangsung secara efektif dan tujuan pembelajaran akan tercapai, karena apabila siswa tidak bisa menghubungkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan pelajaran yang sedang dipelajari berarti tidak ada proses pembelajaran (Tompkins 2009).
Jadi berdasarkan teori tentang penerimaan bahasa anak yang ditinjau dari sudut pandang psikolinguistik, pembelajaran anak di jenjang sekolah dasar bisa dilakukan akan tetapi harus sesuai dengan karakteristik siswa SD. Untuk itu diperlukanlah metode yang tepat bagi guru SD dalam menyampaikan pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan tentang bahasa Inggris). Mengenai metode untuk mengajar bahasa Inggris, guru bahasa Inggris SD yang berlatar belakang pendidikan S1 Pendidikan Bahasa Inggris sudah mendapatkan ilmu tersebut ketika sedang menuntut ilmu di Perguruan Tinggi mereka masing-masing (dapat dibuktikan di Transkrip Nilai). Hal ini semakin menegaskan bahwa penghapusan mata pelajaran bahasa Inggris di jenjang Sekolah Dasar tidak memiliki bukti yang kuat apalagi jika suatu daerah tersebut memang memiliki tenaga pengajar yang berlatar belakang Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris.
Referensi:
Darjowidjojo, S. (2003). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Scott, W. A. and L. H. Ytreberg (1995). Teaching English to Children. New York, Longman.
Steinberg, D. D (1999). An Introduction to Psikolinguistics. New York, Longman.
Tompkins, G. E. (2009). Language Arts Pattern of Practice 7th Edition. United States of America, Pearson.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Artikel Terkait
Anda harus login untuk berkomentar. Login Sekarang
Penulis Lainnya

swaklseirj
Penulis ini masih malu-malu menuliskan sedikit tentang Biografinya- obeng set 22 March 2017 - 10:06
Komentar Terbaru
- Etos Kerja Guru PNS yang Buruk 9 Tahun yang lalu
- Cetak Kartu Digital NUPTK/PegID 9 Tahun yang lalu
- Bangga memiliki email user@madrasah.id 7 Tahun yang lalu
- Syarat Mengikuti Verval Inpassing 7 Tahun yang lalu
- KITAB SIAP PADAMU NEGERI v1.0 9 Tahun yang lalu
Kategori
- Lain-Lain (983)
- Pendidikan (446)
- Informasi Umum (360)
- Opini & Ide (218)
- Tips & Trik (191)
- Teknologi (92)
- Internet & Media Sosial (80)
Kaitan Populer