Tutorial DasarSIAP Wacana

Artikel Kategori // Buku

Beranda / Buku / Sang Pencerah
Sang Pencerah
1 Komentar | Dibaca 2377 kali
Teguh Dwicaksana @dheche
28 September 2014

Diawali dengan rasa penasaran, akhirnya saya menyempatkan diri untuk membaca novel Sang Pencerah, karya bang Akmal. Meski saya dan beliau ini berasal dari almamater yang sama sewaktu SMA, tapi saya belum pernah bertatap muka secara langsung.
Kala itu saya cuma beberapa kali membaca tulisan-tulisan singkatnya di milis alumni sekolah atau pun di milis bahtera. Passion bang Akmal saat menyusun novel ini bisa saya rasakan bahkan ketika saya belum membaca novelisasi tokoh pendiri Muhammadiyah ini.
 
Novel yang diterbitkan oleh Mizan ini sendiri merupakan novel yang berdasarkan pada skenario film dengan judul yang sama karya Hanung Bramantyo.
Akmal Nasery Basral tak hanya memindahmediakan format skenario ke dalam bentuk novel, tapi juga melakukan pendalaman materi skenario dengan memperkaya bahan penulisan serta mengubah sudut pandang penceritaan dari mata sang tokoh protagonis (“aku”). Sehingga hasilnya adalah sebuah novel yang melengkapi kisah film, bukan mengulangi apa yang sudah dilihat penonton.
 
Saya sendiri justru membaca novelnya terlebih dahulu, baru kemudian semakin tertarik untuk menonton film-nya.
 

“Tempat ini terlalu sempit bagi pemikiran Kiai. Dibutuhkan wadah yang lebih besar dari Kauman.” Sri sultan memberi dorongan semangat kepada kiai berusia 36 tahun yang terlihat sedang gundah itu. (Prolog: Titah Sri Sultan, hal. 3)

Memang beberapa pemikiran dan pandangan Ahmad Dahlan bisa dibilang kontroversial di masanya. Sebagai keturunan ke-11 dari Syaikh Maulana Malik Ibrahim, penyebar agama Islam di Gresik pada abad ke-15 yang juga satu dari 9 tokoh besar Wali Songo, tentu saja beliau ini bukanlah orang sembarangan.
 
Saya yakin, apa yang berkecambuk di pikiran Ahmad Dahlan sebenarnya juga banyak muncul di pikiran orang kebanyakan, hanya mungkin kebanyakan orang tidak berani mempertanyakan hal tersebut. Terutama kalau kita memahami bagaimana kondisi sosial yang berlaku di tanah Jawa pada saat itu.

Mengapa untuk mengadakan yasinan 40 hari seorang anggota keluarga yang sudah wafat, anggota keluarga yang masih hidup harus meminjam uang kepada orang lain? Apakah itu tidak memberatkan bagi yang masih hidup? Apakah hal ini memang diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad panutan umat manusia? (Akibat Yasinan Pak Poniman, hal. 32)

Aku suka bingung melihat warga yang pada shalat dan mengaji tapi rajin kasih sesajen di kuburan. Aku juga bingung melihat banyak kebiasaan masyarakat yang kelihatannya bikin susah seperti waktu yasinan bapakmu itu. Ibumu pasti keluar banyak uang bikin acara itu. (Kauman Lawan Ngadisuran, hal. 45)

Mengalirnya alur cerita di novel ini membuat saya benar-benar bisa menikmati aktivitas membaca buku yang sebenarnya belakangan ini sudah agak sedikit hilang, terutama dengan semakin populernya media sosial dan media-media online lainnya.
Tak terasa sudah masuk ke bab 4 yang sedikit mengingatkan saya dengan film Vantage Point. Sebagian momen di bab-3 diulang kembali di bab ke-4 Kisah Walidah tapi dengan sudut pandang dan penutur yang berbeda, kali ini cerita dituturkan dari sudut pandang Siti Walidah.
 
Nama Ahmad Dahlan diberikan oleh Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu gurunya di Makkah. Memang pada saat itu setiap santri yang berasal dari daerah non-Arab biasanya namanya akan diarabkan setelah menyelesaikan pendidikannya. Nama ini menggantikan Muhammad Darwis, nama pemberian bapak ibunya. Bahkan Sri Sultan pun pernah memberinya nama kehormatan, Raden Ngabei Ngabdul Darwis.
 
Ahmad Dahlan membebaskan muridnya memilih topik pengajian, ia ingin murid-muridnya berpikir lebih keras setiap mencoba mencari jawaban atas pertanyaan mereka sendiri.

“Kalau pengajian di sini, kalian yang menentukan apa yang kalian ingin ketahui. Dimulai dengan bertanya. Pertanyaan itu kunci gerbang untuk memasuki dunia ilmu pengetahuan,” ujarku. (Khatib Pemain Biola, hal. 181)

Salah satu kejadian yang membuat saya merasakan dejavu adalah momen saat penghancuran langgar kidul (Penghancuran Langgar Kidul, hal. 231). Kejadian seperti ini masih sering kita temui, bahkan sampai saat ini, ketika sekelompok muslim mengkafirkan kelompok muslim lainnya yang memiliki pandangan berbeda. Ketika jalan kekerasan diambil untuk membungkam kelompok yang berbeda tersebut. Ketika rumah ibadah dihancurkan.
Ada juga kejadian-kejadian lain di novel ini yang membuat saya tersenyum, bagaimana Ahmad Dahlan menjawab tudingan sekolah kafir yang dilontarkan oleh seorang ulama dari Magelang. (Interogasi Lanjutan Para Kiai, hal. 393)
 
Sudahlah, langsung saja baca novel dan tonton film-nya.
Semoga kita semua tercerahkan.
 
Harap tunggu, laporan sedang dalam proses submit....

Hanya satu komentar pada "Sang Pencerah"

  1. ASY'ARI

     |
    March 4, 2016 at 9:07 am

    Novel selalu menyimpan keunikan. Lebih fokus. Lebih kaya. Dibandingkan dengan film, novel lebih memberi ruang refleksi yang memadai. Baik penulis maupun pembaca, keduanya memiliki ruang untuk lebih mendalami masalah menyisipkan sentuhan emosi. Lewat novel, dua subjek–pembaca dan penulis–dipertautkan secara emosional. Saya berharap bahwa saya pun bersekempatan menikmati novel ini. Sekarang masih belum, he he ..

Anda harus login untuk berkomentar. Login Sekarang

Penulis Lainnya

Aris Resdianto

Penulis ini masih malu-malu menuliskan sedikit tentang Biografinya
Daftar Artikel Terkait :  12
Layanan ini diselenggarakan oleh PT. TELKOM INDONESIA untuk dunia pendidikan di Indonesia.
Mari kita majukan bangsa Indonesia, melalui pemanfaatan Teknologi Informasi yang tepat guna
pada dunia pendidikan Indonesia.
Sistem Informasi Aplikasi Pendidikan
versi 2.0