Artikel Kategori // Lain-Lain
Sarjana dan ulama,keduanya dikenal sebagai orang yang berilmu dan memiliki pemikiran yang ilmiah,sehingga keduanya dapat disebut sebagai “masyarakat ilmiah”.Dulu,sarjana diartikan sebagai oyang yang pintar dan memiliki keahlian pada bidang tertentu.Kata “sarjana” kemudian mengalami penyempitan makna yaitu orang yang tamat di strata 1 pada perguruan Tinggi melalui jalur pendidikan (kuliah) selama minimal 4 tahun. Kini sarjana bukan hanya ditujukan kepada orang yang kuliah di perguruan tinggi,tetapi orang tidak kuliah pun kalau memiliki ijazah perguruan tinggi dapat disebut sarjana (tetapi mudah-mudahan tidak ada yang demikian).
Sedangkan ulama adalah orang yang memiliki banyak ilmu/pengetahuan tentang Agama Islam dan aktif dalam menyebarkan agama kepada masyarakat,baik secara lisan maupun secara tertulis.Ulama menurut Al Quran adalah orang yang memiliki rasa takut kepada Allah,yaitu takut bila melaksanakan larangan Allah,takut bila melalaikan perintah Allah atau takut menzalimi sesama makhluk.Rasa takut itu muncul karena ilmu yang dimilikinya.Rasa takutnya kepada Allah mampu mengalahkan rasa takutnya kepada sesama makhluk Allah.
Sarjana dan ulama sebagai orang yang berilmu dan berfikiran ilmiah,tentu bukan hanya dibuktikan dengan ijazah,gelar sarjana atau gelar ulama,melainkan dibuktikan dari esensinya sebagai sarjana sebagai orang berilmu,berpikir ilmiah dan perkataannya berdasarkan kebenaran.Dan kebenaran itu tentunya dibuktikan dengan fakta atau dalil,jadi sarjana dan ulama tidak asal berkata karena perkataan akan penjadi pegangan masyarakat.Esensi dari sarjana dan ulama,antara lain:
1. Memiliki dan memahami berbagai macam ilmu yang mendukung keserjanaan atau keulamaannya,yang bukan saja menghapal banyak ayat atau hadis tetapi mampu memahami ayat dan hadis itu dengan pemahaman yang benar,
2. Ilmu itu mampu diterapkan dalam kehidupannya dan pada kehidupan orang lain,
3. Berfikir ilmiah dalam menghadapi atau memutuskan suatu masalah,jadi bukan asal bicara berdasarkan prasangka,ikut-ikutan pada pembinacaran orang lain,melainkan berdasarkan fakta dan dalil kebenaran.
Berbeda dengan takhyul,yaitu pendapat atau kepercayaan yang bersumber dari prasangka nenek moyang dan berkembang secara turun temurun.Pendapat dan kepercayaan yang lahir dari prasangka bukanlah sebuah kebenaran.Prasangka itu tidak sedikitpun bermanfaat bagi kebenaran.Seorang sarjana atau ulama tidak begitu muda mempercayai takhyul,karena takhyul itu bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan pemikiran ilmiah yang tidak bisa dibuktikan fakta dan dalil kebenarannya.
Takhyul telah banyak mempengaruhi pola fikir dan pola laku sebagian besar masyarakat,kecuali masyarakat ilmiah,seperti sarjana dan ulama yang sangat disayangkan bila ikut-ikutan percaya pada takhyul apalagi bila dipengaruhi pola fikir dan pola lakunya.Justru sarjana dan ulama yang diharapkan mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang ketidakbenaran takhyul sehingga tidak perlu ditakuti dan disikapi dengan amalan-amalan yang menyerupai ibadah.Kalau ada sarjana atau ulama yang mampu mencerahkan pemikiran masyarakat pada takhyul yang membuat masyarakat itu terbebas dari belunggu takhyul maka itu adalah sarjana atau ulama yang hebat.Sebaliknya kalau ada seorang sarjana atau ulama yang berhasil dibelunggu oleh masyarakat dengan belunggu takhyul maka patut dipertanyakan keserjanaan atau keulamaan orang tersebut`
Banyak takhyul yang berkembang dalam masyarakat,termasuk pada masyarakat Islam,antara lain yang penulis kemukakan sebagai contoh pada tulisan ini adalah takhyul kepercayaan kepada “waktu-waktu baik dan waktu-waktu sial”.Takhyul ini bukan hanya mempengaruhi pola fikir dan pola laku masyarakat umum,tetapi juga memperngaruhi pola fikir dan pola laku sebagian kecil sarjana (oknum) dan mungkin juga sebagian kecil ulama (oknum).Mereka kalau hendak melakukan hajatan berupa perkawinan,khitanan anak atau mendirikan/pindah rumah maka terlebih dahulu mendatangi dukun atau orang yang dianggap pintar untuk meminta petunjuk tentang waktu yang baik untuk melakukan hajatan tersebut.
Secara ilmiah,kebenaran tentang adanya waktu baik yang bisa mendatangkan keberuntungan dan waktu sial yang bisa mendatangkan kesialan tidak bisa dibuktikan karena tidak sesuai fakta dan dalil kebenaran.
Secara fakta,bahwa semua waktu/hari itu sama,dalam sehari selalu terjadi berpasangan peristiwa yang baik dan peristiwa yang buruk,keberutungan dan kesialan yang melanda seseorang sesuai dengan yang ditakdirkan Allah.Kebaikan dan keburukan semua terjadi dalam sehari,namun yang diterima setiap orang berbeda-beda tergantung pada takdirnya.Dan takdir itu lebih dahulu ditetapkan daripada waktu,jadi apapun yang terjadi di muka bumi ini dan juga pada diri seseorang telah ditetapkan Allah dalam kitab Lauh Mahfuzh jauh sebelumnya (QS. Al Hadid:22).
Dalam Al Quran itu sudah jelas,bahwa waktu itu diciptakan untuk manusia,siang sebagai waktu untuk mencari rezki dan malam sebagai tempat istrahat dan di antara keduanya dipakai untuk beribadah.Dalam Al Quran maupun hadis tidak ada yang menerangkan tentang waktu-waktu baik dan waktu-waktu sial,justru yang beruntung dan yang sial adalah orang-orang yang menyia-nyiaka waktu.Yang beruntung karena waktu adalah orang yang memanfaatkan waktunya dengan keimanan,beramal saleh,saling menasehati dalam kebenaran dan dalam kesabaran (QS. Al Ashr:1-3).Sedangkan orang yang sial adalah orang yang menyia-nyiakan waktunya dengan kekafiran,kemunafikan dan kemaksiatan.
Dalam sebuah hadis Qudsi,Allah mengungkapkan kekecewaannya kepada anak cucu Adam yang mencela-cela waktu.Allah kecewa pada manusia yang mencela ciptaan-Nya sedangkan waktu itu adalah ciptaaan Allah. Oleh karena itu,Rasulullah SAW berpesan,”Janganlah mencela waktu,karena sesungguhnya Allah adalah (pencipta) waktu” (HR.Muslim).Begitupun halnya orang-orang yang dianggap pintar tidak bisa dibuktikan secara ilmiah kepintaran mereka,karena waktu-waktu baik yang mereka sampaikan itu hanya berdasarkan prasangka yang prasangka terhadap sifat-sifat unsur penciptaan manusia,yaitu Tanah,Air,Angin dan Api lalu dihubung-hubungkan dengan kalender Hijriah,sehingga kalau hari/tanggal bertepatan dengan tanah atau air maka disangkanya baik,karena katanya air itu bisa mendatangkan/mengalirkan rezki,sedangkan hari/tanggal yang kebetulan bertepatan dengan angin dan api maka disangkakan buruk,sehingga mereka menghindari waktu-waktu/hari-hari yang bertepatan dengan angin dan api karena hari tersebut sial atau akan megundang kesialan bagi orang yang memakainya untuk suatu hajatan penting.Perhitungan waktu seperti itu tidak pernah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya,sehingga bagi seorang sarjana atau ulama tidak boleh mempercayainya,apalagi ikt-ikutan ke dukun atau ke orang pintar meminta petunjuk waktu.Tempat meminta petunjuk yang benar adalah kepada Allah.
Artikel Terkait
Anda harus login untuk berkomentar. Login Sekarang
Penulis Lainnya

Jules Arkley
Jules Arkley is a small business collaborator, content writer and digital marketer with over 10 years of wo ...- Permasalahan di Desa dan Solusinya yang Terpercaya 03 July 2018 - 02:01
- Temukan Distributor Alat Peraga Tepercaya dengan 5 Langkah Ini 02 July 2018 - 02:04
- Peran Software Media Pembelajaran Menjadi Vital Bagi Sekolah 30 June 2018 - 02:08
Komentar Terbaru
- Etos Kerja Guru PNS yang Buruk 10 Tahun yang lalu
- Cetak Kartu Digital NUPTK/PegID 9 Tahun yang lalu
- Bangga memiliki email user@madrasah.id 8 Tahun yang lalu
- Syarat Mengikuti Verval Inpassing 8 Tahun yang lalu
- KITAB SIAP PADAMU NEGERI v1.0 9 Tahun yang lalu
Kategori
- Lain-Lain (984)
- Pendidikan (446)
- Informasi Umum (360)
- Opini & Ide (218)
- Tips & Trik (192)
- Teknologi (94)
- Internet & Media Sosial (83)
Kaitan Populer