Artikel Kategori // Lain-Lain
By : M.Iqbal Fardian
Suatu pagi saya, istri dan si kecil buah hati kami berdua, namanya Almeira Faiqotudzihni. Satu nama yang kami pilih dengan harapan dia menjadi seorang putri yang pengetahuannya melebihi yang lain. Terkandung maksud bahwa dia menjadi seorang ilmuwan yang bermanfaat bagi orang lain, kami duduk santai di depan TV, tiba-tiba ada seorang saudara yang meminta tolong kepada istri saya yang kebetulan seorang perawat kesehatan di salah satu rumah sakit ternama di Genteng Banyuwangi, untuk memeriksa tekanan darahnya. Setelah proses pemeriksaan tekanan darah selesai tanpa ada yang memerintah tiba-tiba Aira, begitulah kami biasa memanggil si kecil, mengambil alat yang habis digunakan bundanya, kemudian dengan cekatannya dia meniru bundanya memeriksa saya sambil memegang stetoskop bak seorang dokter profesioanal yang memeriksa seorang pasien. Saya terdiam, kemudian secara reflek saya memanggil si kecil dengan sebuatan dokter Aira.
Tak salah memang dari penyebutan tersebut, wajar kalau sebagai orang tua saya ingin melihat Aira menjadi seorang dokter. Agak lama saya terdiam, kemudian dalam hati saya mencoba untuk berdialog dengan diri sendiri, “ Apa yang baru saya lakukan dengan menyebut Aira dengan sebutan dokter aira ? Apakah saya terlalu berlebihan, karena saya yakin dia tidak tahu apa-apa tentang profesi dokter. Kalaupun itu sebuah harapan apakah harapan substansi harapan itu ? Apakah saya berharap menjadi dokter untuk tujuan yang ideal agar bisa membantu orang lain ? Ataukah hanya sekedar hanya berdimensi pragmatis, agar dia kaya raya? ”.
Ternyata banyak yang harus saya jawab dari sebuah kalimat yang saya sebutkan untuk si kecil. Dalam hati yang paling dalam harapan saya dari profesi dokter adalah sebuah harapan yang bersifat materi. Kehidupan layak dan prestise social yang mentereng menjadi harapan-harapan yang agaknya menjadi pilihan yang bisa jadi menjadi harapan banyak orang kepada anaknya. Beberapa saat saya merenung untuk masalah ini. Inilah sebenarnya untuk pertama kalinya saya telah melakukan sosialisasi pemberhalaan materi kepada anak. Seringkali orang tua lupa bahwa untuk menyampaikan pelajaran tauhid kepada anak, bahwa rizki, materi, jabatan, presitise dan lain sebagainya adalah semuanya itu Allah lah yang mengaturnya. Saya lupa mengatakan kepada anak bahwa Allah pencipta seluruh yang ada di jagat raya ini, saya lupa mengatakan bahwa Allah akan meminta pertanggung jawaban atas apa yang dilakukan oleh manusia selama hidupnya di dunia.
Terkesan normative dan rumit jika kita menyampaikan masalah Tauhid kepada anak yang belum mengerti apa-apa. Karena inilah fondasi dasar dalam hidup agar anak sejak dini distimulasi oleh sesuatu yang hakiki bukan distimulasi oleh benda, materi dan cerita-cerita indah dunia. Kongkritnya memang tidak langsung mengajarkan masalah masalah Tauhid yang rumit-rumit, tapi ajarkan terlibih dahulu kepada anak tentang kejujuran, kasih sayang, cinta kasih dan tanggung jawab.
Kalau ditelusuri lebih dalam ini adalah problem yang dihadapi oleh system pendidikan kita. Selalu ukuran dari keberhasilan seseorang dalam hidupnya ukurannya hanyalah bersifat kebendaan. Sementara aspek yang bersifat transcendental dicampakkan ke ruang yang dianggap tidak ada sangkut pautanya dengan materi yang telah diperoleh. Oknum yang dianggap paling bertanggung jawab atas rusaknya moral anak bangsa. Padahal sesungguhnya proses sosialisasi pemberhalaan kepada materi itu sudah dimulai dari keluarga. Tidak dapat dipungkiri proses penguatan pemberhalaan ini terus diperkuat di sekolah. “ Lantas siapa lagi yang bertanggung jawab, kok semakin melebar ? Pemerintah,Ulama, NU, Muhammadiyah, FPI atau siapa lagi ? saya mencoba terus berdialog dengan diri sendiri.
“ Ataukah masalah ini karena masalah yang berkaitan dengan problema filosofis modernism yang saat ini melanda dunia, tak terkecuali menjangkiti umat islam sendiri ? Sedangkan Orang tua, sekolah, Pemerintah,Ulama, NU, Muhammadiyah atau yang lainnya hanyalah imbas dari pertarungan ideologi yang ada di dunia ini. Saya terus mencoba menghubung hubungkan berdasarkan realitas yang ada salah satunya seperti yang telah diketahui bahwa, kolonisasi Barat atas dunia Islam tidak saja melahirkan kemuduran ekonomi dan politik, tetapi juga telah membawa kehancuran dan penjungkirbalikan budaya dan tradisi islam. Sebagai konsekwensinya, komunitas muslim termasuk kalangan intelektualnya kurang responsive terhadap problem masyarakat. Peradaban islam mengalami kelemahan, tidak efisien, lapuk baik secara moral maupun spiritual dan dianggap tidak mampu memenuhi tuntutan dan perkembangan jaman (Arkoun 1997).
Dalam kondisi semi mati seperti ini, umat islam bersikap pasif, berkiblat dan belajar dari barat. Akibatnya terjadi hegemoni Barat atas dunia Islam secara politik, ekonomi,social dan intelektual. Hegemoni ini menghasilkan situasi baru didunia Islam, terutama yang menyangkut infiltrasi ideologis yang menumbuhkan sekularisasi dan menyusupkan paham paham baru sebagai produk turunan dari sekularisme seperti rasionalisme,kapitalisme dan globalisme.
Bagi orang barat paham paham tersebut telah mengakar kuat dalam kehidupan mereka dan mempengaruhi perilaku mereka yang serba menserba bendakan segala sesuatu. Nah dititik inilah semua berawal pemberhalaan kepada materi adalah sesungguhnya merupakan produk dari sekularisasi.
Salah satu yang terimbas dari sekularisasi ini adalah ilmu pengetahuan, yang dengan pijakan filsafat positifismenya akan mengatakan realitas empiris dikatakan ilmiah atau tidak ketika realitas tersebut dapat diterima secara rasional dan dapat diuji secara empiris. Kebenaran model ini berlandaskan pada paradigma rasionalitas Cartesian dengan semboyannya yang popular cogito ergo sum atau I think, therefore I am ( Saya berfikir, karena itu saya ada)(Sunyoto (1997) dalam Muhammad (2010).
Pemisahan nilai dari aspek ilmu pengetahuan, Hal ini menurut anggapan mereka karena nilai itu bersifat subjektif dan normative yang dapat merintangi manusia untuk mencapai tujuan tujuan hidupnya. Dengan mengutip pandangan Durkheim, Budiman (1997) mengungkapkan bahwa :
Konsekwensi dipraktekannya pabrikasi kapitalisme telah membuat tatanan social tradisional yang sebetulnya sarat dengan nilai solidaritas dan persaudaraan. Kebersamaan anggota masyarakat pun semakin memudar karena setiap individu disibukkan oleh tugasnya masing-masing. Individulaisme, akhirnya diletakkan diatas kolektifitas, sehingga masyarakat tidak lagi memiliki daya kohesif dan pemaksa yang kuat untuk membuat utuh kesadaran diri dalam setiap pribadi yang terfragmentasikan. Masyarakat secara tidak sadar telah meninggalkan imperative imperative norma kehidupan, norma agama dan norma social yang semula disepakati bersama. Pada tataran ini manusia kehilangan pegangan hidup dan akhirnya terperangkap dalam dunia anomie, yaitu keadaan hampa tanpa norma (normlesness).
Menyikapi hasil temuan Temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Provinsi Kepri dan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Muslim Indonesia (KAHMI) Tanjungpinang sangat mengejutkan. Temuan tersebut adalah maraknya prostitusi terselubung di Tanjungpinang yang melibatkan mahasiswa, pelajar SMA dan pelajar SMP. Sontak saja suara lantang yang dari orangtua yang menuding runtuhnya moral anak-anak dan para muda-mudi ini karena ketidakbecusan para guru disekolah dalam mendidik dan menanamkan karakter moral kepada anak-anak mereka. Para orangtua beralasan waktu anak disekolah lebih panjang daripada dirumah karena pagi-pagi sekali si anak sudah disekolah dan baru pulang sorenya, kemudian dilanjutkan les hingga malam dan malamnya mereka sudah istirahat, oleh karenanya pengaruh guru sangat dominan pada anak dibanding orangtua. Para Orangtua itu juga berpendapat karena kesibukan pekerjaan, waktu yang dimiliki mereka untuk berinteraksi dengan si anak sedikit sekali oleh karena itulah mereka sudah mempercayakan sepenuhnya pembentukan karakter dan perkembangan anak mereka kepada sekolah.
Tuduhan ini menurut hemat penulis merupakan tuduhan yang terlampau lancang dan over dosis karena ketika melihat buruknya mutu pendidikan secara umum kemudian menuduh guru sebagai biang keroknya adalah tuduhan yang terlalu menyederhanakan masalah. Dalam hal ini guru adalah produk dari system pendidikan nasional, sedangkan system pendidikan nasional adalah yang merupakan produk dari system politik. Sedangkan system politik adalah produk dari system ideologis negara. Dengan demikian terdapat konstribusi sistemik dari banyak system yang ada di Indonesia. Wah…..wah ternyata dari diskusi dengan aira menjadi berujung pada diskusi yang amat serius dan bersifal filosofis ideologis.
Artikel Terkait
Anda harus login untuk berkomentar. Login Sekarang
Penulis Lainnya

Drs. SALIMUDIN, M.Pd
Saya seorang pengawasTK /SD di DinasPendidikan Kabupaten Brebes pada tahun 2010 sebagai pemenang 2 pengaw ...- Peranan Kepala Sekolah sebagai Pemimpin Pembelajaran 09 July 2014 - 02:19
- Best Practice: Berkat Kegiatan Program Bermutu Mengantarkan Ke Istana Negara Sebagai Pengawas Berprestasi 09 July 2014 - 02:02
Komentar Terbaru
- Etos Kerja Guru PNS yang Buruk 9 Tahun yang lalu
- Cetak Kartu Digital NUPTK/PegID 9 Tahun yang lalu
- Bangga memiliki email user@madrasah.id 8 Tahun yang lalu
- Syarat Mengikuti Verval Inpassing 8 Tahun yang lalu
- KITAB SIAP PADAMU NEGERI v1.0 9 Tahun yang lalu
Kategori
- Lain-Lain (984)
- Pendidikan (446)
- Informasi Umum (360)
- Opini & Ide (218)
- Tips & Trik (192)
- Teknologi (94)
- Internet & Media Sosial (83)
Kaitan Populer