Tutorial DasarSIAP Wacana

Artikel Kategori // Opini & Ide

Beranda / Opini & Ide / Curang No, Prestasi Yes, Merasa Malu Harus!
Curang No, Prestasi Yes, Merasa Malu Harus!
0 Komentar | Dibaca 1894 kali

Curang No, Prestasi Yes, Merasa Malu Harus!
Oleh: Amri Ikhsan
Hajatan akbar tahunan dibidang pendidikan, ujian Nasional (UN) sudah datang. Kehadiran UN tidak lagi seheboh dulu. Siswa tidak lagi dihantui ketakutan dan kekhawatiran mengenai UN, yang dulu menjadi salah satu tolok ukur kelulusan siswa.
Permendikbud nomor 57 tahun 2015 Pasal 16 menyatakan bahwa hasil UN digunakan untuk: (a) pemetaan mutu program dan/atau Satuan Pendidikan; (b) pertimbangan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; dan (c) pertimbangan dalam pembinaan dan pemberian bantuan kepada Satuan Pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Akibatnya, pro dan kontra tentang pelaksanaan UN tidak lagi ‘panas’, berita tentang UN tidak ‘sesexy’ dulu. Perlu diapresiasi karena beberapa tahun terakhir ini pemerintah mulai kompromi dan akhirnya mau menerima masukan dari sejumlah pemangku kepentingan pendidikan (stakeholders) menjadikan nilai Ujian sekolah sebagai bahan pertimbangan kelulusan siswa.
Para siswa, sekolah, orang tua menyambut baik keputusan Kemdikbud, bahwa hasil UN tidak lagi ditentukan oleh pemerintah melainkan kelulusan siswa pada suatu jenjang pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada satuan pendidikan bersangkutan.
Diakui, UN adalah kebijakan publik yang ‘belum sempurna’. Dianalogikan perlombaan balapan motor dengan kapasitas 250 CC, 110 CC dan 100 CC diperlombakan pada kelas dan lintasan sirkuit yang sama. Tentu dari kecepatan dan daya tahan ketiga kendaraan ini berbeda secara signifikan sehingga output kecepatan maximum juga tentu juga akan berbeda.
Berdasarkan POS UN 2016, kriteria pencapaian kompetensi lulusan berdasarkan hasil UN: nilai hasil UN dilaporkan dalam rentang nilai 0 sampai dengan 100, dengan tingkat pencapaian kompetensi lulusan dalam kategori sebagai berikut: (a) sangat baik, jika nilai lebih dari 85 dan kurang dari atau sama dengan 100; (b) baik, jika nilai lebih dari 70 dan kurang dari atau sama dengan 85; (c) cukup, jika nilai lebih dari 55 dan kurang dari atau sama dengan 70 dan (d) kurang, jika nilai kurang dari atau sama dengan 55.
Ini disinyalir ‘pemicu’ timbulnya ‘niat’ curang selama UN. Kelihatannya kita belum siap ‘dikotak-kotak, dikelompok-kelompokkan, dirangking, apalagi termasuk rangking ‘bawah’. Rasa malu kita ‘cepat keluar’. Ini sebenarnya ‘keyword’ kecurangan UN selama ini, mulai dari guru, kepala sekolah, Kepala Dinas, Kepala Daerah ‘keluar’ rasa malunya bila mata pelajarannya, sekolahnya atau daerahnya termasuk kategori ‘lemah’ dalam UN. Implikasinya adalah melakukan ‘operasi senyap’ supaya tidak termasuk kelompok ini. Bagi pihak pihak ini, masuk dalam kategori ‘lemah’ berarti guru tidak mengajar dengan sebenarnya, kepala sekolah tidak membimbing dengan sebenarnya, Kepala Dinas tidak membina dengan sebenarnya dan ‘ujung-ujung’ jabatan adalah adalah taruhannya.
Walaupun, pengelompokan hasil UN 2016 lebih ‘lembut’ (soft) dari 2 tahun sebelumnya, tapi kategori ini tetap mengusik kenyamanan siswa, guru, kepala sekolah, Kadis tertentu bila mereka termasuk dalam kategori ‘buncit’.
Tidak hanya guru yang mesti memiliki rasa malu, tapi juga pemerintah dan stakeholder mestinya bekerja dengan sepenuh hati. Mendidik, membina, melatih guru agar bisa menjadi manusia yang memiliki rasa malu. Bukan hanya sekedar menyampaikan surat, aturan tapi juga mencontohkan berbuat yang terbaik sehingga terbentuk karakter sekolah untuk menghasilkan manusia yang berguna untuk dirinya sendiri, berguna untuk orang lain, serta berguna untuk bangsa dan negara.
Kita, tidak hanya guru, harus menanamkan rasa malu. Malu memaksakan sesuatu kepada bawahan, malu membuat aturan yang ‘mungkin’ bawahan tidak sanggup, malu membandingkan sekolah yang memang sudah berbeda, malu membuat pelatihan yang tidak ‘penting’, malu menilai sesuatu yang belum dikuasai, malu ‘mark-up’ nilai supaya lulus SNMPTN, malu karena rasa malu itu merupakan salah satu cabang dari keimanan.
Malu terhadap konsisten pada kejujuran di UN. Untuk siswa, bisa jadi tidak lulus. Untuk guru, bisa jadi akan dimarahi kepala sekolah. Untuk kepala sekolah dan pengawas sekolah mungkin dianggap tidak bisa ‘bekerja’. Untuk Kadis dianggap tidak membimbing, mungkin artinya jabatan taruhannya.
Malu berlomba dapat nilai tinggi. Sayangnya perlombaan itu tak ditemani pemerataan kualitas pendidikan. Indikatornya dari ketidakmerataan fasilitas pendidikan dan kualitas guru. Pemerintah membuat perlombaan. Gubernur, bupati, dinas pendidikan, semua ingin turut serta. Semua ingin terlihat menyumbang kemenangan. Jalan pintas pun dipilih.
Mestinya ada langkah komprehensif yang dilakukan sebagai ikhtiar untuk membereskan persoalan kejujuran dan kedisiplinan di bangsa Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan.
Pemeringkatan sekolah berdasarkan nilai UN yang kontra produktif. Ini menyebabkan muncul kategori sekolah berdasatkan nilai siswa: sangat baik, baik, cukup dan kurang.
Pemeringkatan ini membuat oknum sekolah ‘mulai bermain’. Peringkat atas akan berusaha sekuat tenaga untuk tetap di posisi ‘elit’ bagaimanapnn caranya. Kalau tidak maka publik akan berkata: “Masa sekolah yang serba lengkap, serba ada, dibantu dana yang berlimpah dari pemerintah, siswanya banyak yang tidak lulus, atau nilai siswanya sama dengan sekolah ‘miskin’. Sedangkan sekolah yang berada di kategori bawah akan ‘berjuang mati-matian’ untuk sama dengan sekolah sangat baik: Kalau tidak: (1) sekolah ini akan menjadi ‘bulan-bulanan’ pejabat dalam setiap sambutan tentang UN, dan menjadi ‘percontohan sekolah’ yang belum berhasil dalam UN; (2) secara sosiologis sekolah sekolah ini akan ‘dijauhi’ oleh calon siswa baru karena belum berhasil dalam UN.
Oleh karena itu, seharusnya UN mendorong siswa suka belajar, mendorong penguasaan kompetensi, membelajarkan siswa dan guru, merangsang kepala sekolah untuk kreatif, membuat Kepala Dinas rajin datang ke sekolah untuk memberi motivasi kepada majelis guru, bukan kepada seorang Kepala sekolah. Namun faktanya, siswa lebih mementingkan nilai, guru dan sekolah fokus pada latihan menjawab soal, sedang Kepala Dinas dan Kepala Daerah terkonsentasi pada persentase kelulusan. Malu rasanya!
*) Penulis adalah Guru MAN Muara Bulian, Kabupaten Batanghari, Jambi

Harap tunggu, laporan sedang dalam proses submit....

Anda harus login untuk berkomentar. Login Sekarang

Penulis Lainnya

jskerieroer

Penulis ini masih malu-malu menuliskan sedikit tentang Biografinya
Daftar Artikel Terkait :  1
Layanan ini diselenggarakan oleh PT. TELKOM INDONESIA untuk dunia pendidikan di Indonesia.
Mari kita majukan bangsa Indonesia, melalui pemanfaatan Teknologi Informasi yang tepat guna
pada dunia pendidikan Indonesia.
Sistem Informasi Aplikasi Pendidikan
versi 2.0