Artikel Kategori // Pendidikan
Oleh Ahmad Zaidun*)
Konflik demi konflik dunia pendidikan yang melibatkan guru, siswa dan orang tuanya belum juga berhenti. Rentetan perselisihan terus saja terjadi hingga kini. Masih hangat rasanya ingatan publik bagaimana seorang ibu guru di Malang dipidanakan ‘hanya’ karena mencubit siswanya. Dan yang sedang hit saat ini adalah pemukulan orang tua siswa pada seorang guru SMKN-2 Makasar. Ironisnya, guru tersebut justeru dilaporkan balik, dan dijadikan tersangka pula!
Rangkaian peristiwa panjang tersebut mayoritas adalah dilaporkannya guru oleh orang tua siswa atas tuduhan penganiayaan fisik terhadap anaknya. Lepas dari konteks kejadian yang sebenarnya, fenomena tersebut menunjukkan bahwa profesi guru di Indonesia masih sangat rentan terhadap hukum. Guru yang mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan anak bangsa begitu mudahnya dijerat pasal-pasal.
Pasal-pasal yang biasa dikenakan pada guru, di antaranya, pasal 335 ayat 1 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Kemudian, undang-undang perlindungan anak, secara spesifik pasal 13 ayat (1) huruf d, pasal 54 dan pasal 80 ayat (1). Di sana secara eksplisit dikatakan bahwa apapun bentuk kekerasan terhadap anak adalah sebuah pelanggaran hukum. Dalam penjelasan pasal 13 ayat (1) dikatakan, yang dimaksud kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.
Kekerasan sebagai Metode
Sementara pengamat memaknai bahwa apapun bentuk dan kualitasnya, yang namanya kekerasan terhadap anak adalah kejahatan, titik. Karenanya kekerasan tidak boleh diterapkan pada level dan lingkungan manapun, terutama dalam pendidikan.
Baiklah, mari diskusikan aksioma tersebut. Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengubah manusia agar memiliki kepribadian yang lebih baik. Disiplin, mandiri, jujur, tegas, peduli lingkungan, cinta tanah air dan terampil adalah di antara karakter yang ingin ditanamkan pada peserta didik.
Penanaman karakter bukanlah sebuah sulapan. Ia membutuhkan waktu panjang pembelajaran. Dalam konteks sekolah, kesemua langkahnya tersusun rapi secara sistematis dan metodologis. Sistematis berarti melibatkan banyak komponen yang saling terkait, dan metodologis ialah dengan menggunakan cara-cara tertentu.
Secara metodologis, dalam pendidikan terdapat istilah reward and punishment, yakni pemberian hadiah dan hukuman. Meskipun debatable mengenai keefektifannya, namun secara faktual kita telah menerapkannya. Terutama punishment adalah satu cara yang banyak digugat karena disinyalir tidak mendidik. Penentangan ini bisa jadi karena punishment terejawantah dalam bentuk tindakan fisik, yang oleh sementara pihak disebut sebagai kekerasan.
Di lapangan, penerapan hukuman bukanlah satu tindakan mula-mula yang diberikan oleh guru. Hukuman merupakan opsi terakhir yang bersifat terpaksa, apabila cara-cara yang lain tidak efektif. Hukuman diterapkan, terutama, untuk menanamkan karakter disiplin.
Setiap peserta didik itu unik. Masing-masing mempunyai kecenderungan dan kemampuan yang berbeda. Karena keunikannya pula, bisa jadi penerapan metode terhadap mereka pun beragam. Suatu metode mungkin cocok digunakan untuk satu siswa, namun tidak efektif untuk yang lain. Demikian pula halnya dengan punishment. Bisa jadi, metode ini justeru pantas untuk siswa tertentu, apabila ditimbang bisa mencapai tujuan pembelajaran.
Makna Kekerasan dalam Pendidikan
Hukuman tidaklah identik dengan kekerasan. Hukuman merupakan sebuah konsekuensi serta keberanian memikul tanggung jawab atas satu perbuatan, sedangkan kekerasan ialah tindakan yang berbeda. Kekerasan mempunyai banyak arti. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan kekerasan (salah satunya) sebagai perbuatan yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Sepertinya makna inilah yang mendominasi asosiasi kita ketika disebut istilah kekerasan.
Apakah keras dalam segala bentuk dan kualitasnya memang negatif? Apakah di dalam term kekerasan itu sendiri sudah inheren tindak kejahatan yang melanggar hukum? Jika merujuk pada definisi KBBI di atas, kekerasan yang, kabarnya, dilakukan oleh para guru tertuduh ada yang belum masuk kategori itu. Namun proses hukum tetap berjalan.
Saya kawatir, fobia kita terhadap istilah “kekerasan” telah sampai pada taraf ekstrim. Biasnya, apapun tindakan fisik yang bersifat tidak menyenangkan disebut sebagai kekerasan, dan karenanya harus dimusuhi.
Kita sepakat bahwa kekerasan tidak boleh dijadikan mainstream. Tetapi menolak sama sekali istilah “keras” sebagai sebuah metode dalam pembelajaran adalah ide yang ekstrim. Tidak selamanya keras itu identik dengan buruk dan jahat, apabila diletakkan pada tempatnya yang proporsional. Sama halnya, kurang bijak mengagungkan term “menyenangkan peserta didik” atau “bermain sambil belajar”, jikalau tidak bisa mengantarkan pada tujuan.
Memperhatikan banyak pengalaman, kekerasan oleh guru sejatinya bukan sesuatu yang a historis dan lepas konteks. Ia selalu didahului oleh peristiwa yang profokatif. Belum pernah ditemukan kasus guru melakukan kekerasan secara tiba-tiba tanpa penyebab profokatif. Dengan kalimat lain, kekerasan guru merupakan reaksi atas aksi. Reaksi inipun sesungguhnya, secara metodologis, dalam bingkai pendidikan. Bukan pelepasan sifat barbarian yang emosional.
Beberapa waktu yang lalu Mendikbud juga menyatakan bahwa dalam batas-batas tertentu kekerasan dalam pendidikan bisa ditoleransi. Dalam semangat punishment itulah pernyataan pak menteri tersebut relevan.
Alih-alih diijinkan, langkah keras guru ternyata disikapi berbeda oleh pihak lain. Tindakan, yang sebenarnya adalah metode pembelajaran, malahan dihadapi dengan UU perlindungan anak dan KUHP. Ini situasi yang paradoks.
Perlunya Perlindungan Guru
Imbas penghadangan dengan UU perlindungan anak ternyata tidak sederhana. Guru menjadi terlalu hati-hati. Saking hati-hatinya, bahkan cenderung paranoid. Guru merasa dibayangi oleh ancaman yang membuat kurang nyaman sekaligus gamang dalam menjalankan profesinya. Mereka lebih memilih aman dengan membiarkan siswa melakukan apa yang mereka inginkan, meskipun itu tidak baik dan merugikan diri sendiri secara edukatif.
Kegamangan guru seperti paparan di atas seharusnya segera disikapi oleh Negara. Tidak layak guru merasa tertekan, karena di tangan merekalah generasi bangsa masa depan terbentuk. Guru seharusnya merdeka dalam melaksanakan profesinya, dan itu bisa terjadi jika ada perlindungan hukum yang kuat. Perlindungan hukum dalam bentuk Undang-undang Perlindungan Guru.
Harapannya UU ini dapat melindungi guru ketika sedang menjalankan profesinya. Undang-undang Guru dan Dosen serta PP Nomor 74 Tahun 2008 nyatanya belum mampu membuat nyaman guru. Kebutuhan akan UU Perlindungan Guru saat ini bersifat extra ordinary. Apabila UU tersebut tidak segera diwujudkan, dipastikan para guru di Indonesia akan selalu mudah dikriminalisasi, padahal sejatinya mereka sedang menerapkan sebuah metode pembelajaran.
*) Ahmad Zaidun,
Praktisi pendidikan di MTs Sunan Prawoto Sukolilo Pati. Alumnus Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Artikel Terkait
Anda harus login untuk berkomentar. Login Sekarang
Penulis Lainnya

MATROKHIM
GURU- PENILAIAN BERDASARKAN KURIKULUM 2013 02 May 2014 - 04:52
Komentar Terbaru
- Etos Kerja Guru PNS yang Buruk 10 Tahun yang lalu
- Cetak Kartu Digital NUPTK/PegID 9 Tahun yang lalu
- Bangga memiliki email user@madrasah.id 8 Tahun yang lalu
- Syarat Mengikuti Verval Inpassing 8 Tahun yang lalu
- KITAB SIAP PADAMU NEGERI v1.0 9 Tahun yang lalu
Kategori
- Lain-Lain (984)
- Pendidikan (446)
- Informasi Umum (360)
- Opini & Ide (218)
- Tips & Trik (192)
- Teknologi (94)
- Internet & Media Sosial (83)
Kaitan Populer