Tutorial DasarSIAP Wacana

Artikel Kategori // Pendidikan

Beranda / Pendidikan / Analisis Kebijakan Pendidikan Perspektif Ekonomi-Politik
Analisis Kebijakan Pendidikan Perspektif Ekonomi-Politik
0 Komentar | Dibaca 2523 kali

ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN PERSPEKTIF EKONOMI-POLITIK

Oleh: Andrik Sugiarto


Pendahuluan

Potret pendidikan di Indonesia makin hari makin buram. ini disebabkan karena pendidikan di Indonesia menganut paradigma liberal. Dalam koridor paradigma ini pendidikan diabdikan bagi kepentingan ekonomi semata. Pendidikan tidak bertujuan untuk pembebasan kemanusiaan. Ada tiga paradigma pendidikan yang lazim berlaku: konservatif, liberal, kritik. Ketiganya membentuk corak kesadaran yang berbeda pula bagi peserta didik. Pendidikan konservatif menghasilkan kesadaran magis; pendididkan liberal menghasilkan kesadaran naif; sebaliknya, berbeda dengan dua paradigma sebelumnya, pendidikan kritik membentuk kesadaran kritis.

Mengapapeduli pada pendidikan? Banyak orang menyebut bahwa antara pendidikan dan perubahan (transformasi) sosial adalah dua hal yang saling terkait dan mempengaruhi. Suatu perubahan kiranya sulit akan terjadi tanpa diawali pendidikan, begitu pula pendidikan yang transformatif tak akan pula terwujud bila tidak didahului dengan perubahan, utamanya paradigma yang mendasarinya. Bahkan, ada pula yang berpendapat bahwa menyebut perubahan sosial dan pendidikan yang transformatif ibarat menyebut sesuatu dalam satu tarikan nafas: Pendidikan transformatif adalah perubahan sosial dan perubahan sosial adalah pendidikan transformatif. Sungguhkah? Biar lebih jelas, mari kita urai bersama-sama.

Perubahan sosial tentu membutuhkan aktor-aktor yang mempunyai pengetahuan, kemampuan, komitmen, serta kesadaran akan diri dan posisi strukturalnya. Untuk itu perlu tersedianya suatu media dimana ide-ide, nilai-nilai maupun ideologi, yang tentunya kontra ideologi hegemonik, ditransmisikan kepada para pelaku perubahan sosial.

Paulo Freire, pemikir dan aktivis Pendidikan Kritis, mempunyai pendapat cemerlang perihal pendidikan dan kaitannya dengan perubahan sosial.[2] Dalam bentuknya yang paling ideal, menurut Freire, pendidikan membangkitkan kesadaran (Conscientizacao/Consciouness) diri manusia sebagai Subjek. Dengan kesadaran sebagai subjek tersebut manusia dapat memerankan liberative action. Kesadaran ini secara komunal akhirnya membentuk kesadaran sosial. Dengan kesadaran sosial yang dibangun diatas basis relasi intersubjektif rakyat dapat memainkan peranan dalam rekonstruksi tatanan sosial baru yang lebih demokratis. Tatanan sosial yang demokratis ini menurutnya kondusif bagi humanisme dan pembebasan.

Beranjak dari signifikansi utama pendidikan diatas, tulisan ini disajikan dengan semangat untuk melakukan kritisasi terhadap dunia pendidikan Indonesia sebagai upaya memanifestasikan fungsi paradigma Transformatif yang diyakini. Pengalaman sebagai peserta didik dan pendidik selama ini, baik secara sadar maupun tidak sengaja, telah memungkinkan kita‘memergoki’ sejumlah persoalan yang meresahkan. Ya, siapa tahu dengan men– persoalan yang meresahkan tersebut, nantinya bisa menjadi pemantik diskusi Rekan-Rekan Pendidik yang tidak saja lebih komprehensif, namun juga kontributif bagi terwujudnya sistem pendidikan yang lebih baik atau bahkan ideal; membebaskan, kritis, serta transformatif.

A. PARADIGMA

Paradigma berasal dari bahasa Inggris paradigm yang berarti: model pola, contoh. Dalam kamus ilmiah populer, paradigma dapat diartikan sebagai contoh, tasrif, teladan, pedoman, dipakai untuk menunjukkan gugusan sistem pemikiran bentuk kasus dan pola pemecahannya. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia paradigma diartikan sebagai kerangka berpikir, model teori ilmu pengetahuan. Sedangkan menurut Mansour Faqih, paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kacamata atau alat pandang.[3]

Pengertian paradigma menurut kamus filsafat adalah:

  1. Cara memandang sesuatu.
  2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan.
  3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan atau mendefinisikan suatu study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.
  4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.[4]

Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh fisikawan Amerika Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) dalam bukunya The Structure of  Scientific Revolution (1962) dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs dalam bukunya Sociology of Sociology (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh Mode of Thought atau Mode of  Inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan Mode of Knowingyang spesifik. Menurut Khun yang dikutip George Ritzer, Paradigma adalah gambaran fundamental dari pokok bahasan dalam ilmu pengetahuan. Dia menentukan apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus diajukan, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diajukan, dan aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit terluas dari konsensus dalam ilmu pengetahuan dan membedakan satu komunitas ilmiah dari yang lain. Ia memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan sejumlah contoh, teori dan metode serta instrument yang ada didalamnya.[5] Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan paradigma adalah konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, selain dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran. Konstelasi teori ini dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial untuk memberikan kerangka konsepsi dalam memberi makna realitas sosial.[6]

Di dalam masyarakat, banyak sekali permasalahan yang dihadapi, baik berupa masalah yang ringan sampai yang paling berat. Dalam menghadapi masalah yang ada dalam masyarakat tersebut, masyarakat biasanya menggunakan cara atau pola pikir tertentu ketika memandang suatu fakta atau keadaan yang terjadi dalam masyarakat. Pola pikir dalam memandang suatu fakta sosial itulah yang di sebut dengan Paradigma Sosiologi. Di dalam paradigma sosiologi, ada beberapa unsur ilmu sehingga paradigma sosiologi dipandang sebagai suatu disiplin ilmu yang bisa dijadikan sebagai acuan atau landasan dalam penelitian mengenai problem-problem  sosial.

Fungsi dan Manfaat

Dengan melihat realitas Indonesia, yang  dikepung oleh tantangan global, keterbatasan nasional, dan lemahnya posisi masyarakat, termasuk organisasi sosial kemasyarakatan, maka sebaiknya menggunakan paradigma yang disebut dengan paradigma Transformatif.[7] Artinya, memandang akar  dari berbagai permasalahan seperti korupsi, kemiskinan, semakin mahalnya biaya pendidikan, kerusakan lingkungan, lemahnya masyarakat, adalah struktur atau sistem yang tidak adil, alias tidak berpihak pada masyarakat.[8]

Dengan paradigma seperti itu, diharapkan mampu membentuk sikap kritis masyarakat terhadap realitas sosial, berpikir berdasarkan kenyataan yang ada (Obyektif).  Hal ini mempunyai tendensi agar membentuk sikap kritis terhadap realitas sosial eksternal serta kesadaran structural yang dibentuk, minimal dalam wilayah kebijakan kependidikan.

B. TIGA PARADIGMA PENDIDIKAN

Secara konseptual, ada tiga paradigma[10] pendidikan yang dapat memberi peta pemahaman mengenai paradigma apa yang menjadi pijakan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang berdampak sangat serius terhadap perubahan sosial.[11]

Pertama, paradigma konservatif. Paradigma ini berangkat dari asumsi bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu keharusan alami, mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Pada dasarnya masyarakat tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhan-lah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua.[12] Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Mereka yang menderita, yakni orang orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena toh banyak orang yang bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang bersekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena akhirnya semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan kelak. Paham konservatif hanya melihat pentingnya harmoni serta menghindarkan konflik dan kontradiksi.

Sebagian besar penyelenggaraan sekolah yang dikelola oleh kaum tradisionalis berangkat dari paradigma konservatif ini. Penyelenggaraan sekolah atau madrasah[13] dalam perspektif dan paradigma konservatif memang terisolasi dari persoalan persoalan kelas maupun Gender ataupun persoalan ketidakadilan di masyarakat. Kurikulum sekolah secara jelas bagi kaum konservatif juga tidak ada kaitannya dengan sistem dan struktur sosial diluar sekolah, seperti sistem kapitalisme yang tidak adil.

Kedua,paradigma pendidikan Liberal. Kaum Liberal, mengakui bahwa memang ada masalah di masyarakat. Namun bagi mereka pendidikan sama sekali steriil dari persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Tugas pendidikan cuma menyiapkan murid untuk masuk dalam sistem yang ada. Sistem diibaratkan sebuah tubuh manusia yang senantiasa berjalan harmonis dan penuh keteraturan (functionalism structural).[14] Kalaupun terjadi distorsi maka yang perlu diperbaiki adalah individu yang menjadi bagian dari sistem dan bukan sistem.

Pendidikan dalam perspektif liberal menjadi sarana untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar stabil dan berfungsi secara baik dimasyarakat. Oleh karena itu masalah perbaikan dalam dunia pendidikan bagi mereka sebatas usaha reformasi ‘kosmetik’ seperti perlunya: membangun gedung baru, memodernkan sekolah; komputerisasi; menyehatkan rasio murid-guru, metode pengajaran yang effisien seperti dynamics group, learning by doing, experimental learning dan sebagainya. Hal-hal tersebut terisolasi dengan struktur kelas dan gender dalam masyarakat.

Akar dari pendidikan semacam ini dapat ditelusuri dari pijakan filosofisnya yakni, paham liberalisme, suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, kehendak (will) melindungi hak, dan kebebasan (freedoms)[15], serta proses perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang.

Ketiga, adalah paradigma pendidikan kritis. Pendidikan bagi paradigma kritis merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi kaum konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal ditujukan untuk perubahan moderat dan acapkali juga pro status quo, maka bagi penganut paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam tatanan politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. Dalam perspektif ini, pendidikan harus mampu membuka wawasan dan cakrawala berpikir baik pendidik maupun peserta didik, menciptakan ruang bagi peserta didik untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis diri dan struktur dunianya dalam rangka transformasi sosial.

Perspektif ini tentu mempunyai beberapa syarat,baik guru maupun peserta didik mesti berada dalam posisi yang egaliter dan tidak saling mensubordinasi. Masing-masing pihak, mesti berangkat dari pemahaman bahwa masing-masing mempunyai pengalaman dan pengetahuan. Sehingga yang perlu dilakukan adalah dialog, saling menawarkan apa yang mereka mengerti dan bukan menghafal, menumpuk pengetahuan namun terasing dari realitas sosial (Banking Concep Of Education).

C. DARI IMPERIALISME, GLOBALISME KE KAPITALISME PENDIDIKAN

Pendidikan dimaknai oleh banyak pakar sebagai institusi untuk mendidik generasi manusia dengan berbagai disiplin ilmu. Peradaban manusia juga tidak terlepas dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dunia akan berubah menjadi maju atau bahkan mengalami kemunduran tergantung pada penguasaan pengetahuan. Dilihat dari aspek historis pendidikan di Indonesia adalah warisan kolonial belanda yang sampai sekarang watak pendidikan Indonesia masih tercerabut dari akar tradisi. Untuk menata kembali butuh sistem pendidikan yang jelas, dan yang paling vital adalah bagaimana merumuskan paradigma.

Belum lagi terkait dengan kebijakan pemerintah saat ini, kebijakan belum berpihak kepada masyakat yang belum mampu. Hegemoni negara tentu sangat bersinggungan dengan kebijakan pendidikan, sehingga kekuasaan dan pendidikan harus dipisahkan dari mata rantai kepentingan politik sesaat.

Kemajuan peradaban yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi berimplikasi pada moralitas manusia. Efek globalisasi misalnya telah merambah berbagai sektor kehidupan manusia, mulai dari alat komunikasi, transportasi, dunia maya, dan kecanggihan teknologi lainnya. Globalisasi telah berdampak pada mainstream bahwa manusia harus bisa mengendalikan teknologi. Globalisasi ditandai dengan ketersinggungan antara negara, pasar atau sistem ekonomi global dan masyarakat sipil. Kalau diurai maka persoalan pendidikan Indonesia tidak hanya masalah penataan kurikulum, profesionalitas guru, out-put lembaga pendidikan, paradigma pendidikan, dan persoalan internal penyelenggaraan lembaga pendidikan lainnya. Tapi lebih dari itu ada faktor eksternal yang juga sangat berpengaruh pada pendidikan Indonesia yaitu persoalan rakyat miskin sehingga tidak mampu sekolah, disorientasi kebijakan pemerintah, pendidikan market oriented, relasi kekuasaan negara, dan pusaran arus globalisasi. Rumusan paradigma pendidikan tentu jangan sampai lemah karena terseret arus globalisasi. Sehingga tidak mengorbankan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan dengan memaksa out-put untuk diterjunkan ke dunia pasar kerja. Karena globalisasi tidak bisa dibendung maka sikap kita adalah harus berdapasi secara arif tanpa harus menolaknya. Kekuasaan negara yang berkolaborasi dengan kekuatan ekonomi global inilah yang menimbulkan dampak negatif dalam segala sektor negara termasuk dalam hal ini adalah dunia pendidikan.

D. DEHUMANISASI OLEH RASIONALITAS GLOBALISASI

Manusia akan menjadi mekanistik karena harus menjalankan seluruh alat tehnologi. Teknologi tentu memudahkan kehidupan manusia tetapi dampak negatif yang timbul seringkali tidak sebanding dengan manfaatnya. Pusaran arus kapitalisme global yang bersumbu pada kekuatan pasar eropa tentu akan semakin mengendorkan kekuatan ekonomi negara-negara miskin dan berkembang. Berangkat dari refleksi tersebut kebijakan pendidikan harus kembali pada norma etik dengan beradaptasi atas fenomena global kekinian. Out put pendidikan harus memiliki moralitas tinggi, kepekaan sosial, menjunjung harkat dan martabat negara, dan ikut menentukan arah peradaban manusia.

Globalisasi merupakan suatu proses yang dinamis dari berbagai sektor dalam sejarah manusia. Aktor penting dalam proses ini terjadi pada akhir Perang Dunia II dengan lahirnya Brettonwood System, demikian pula muncul kerjasama bantuan internasional dalam bantuan sesudah perang dalam membangun kembali negara-negara yang hancur seperti eropa. Di Eropa dikenal rancangan kembali dalam bentuk Marshal Plan oleh Amerika Serikat. Di negaranegara Asia terjadi perubahan dalam integrasi tata ekonomi kolonial ke tata sistem ekonomi industri. Keseluruhannya telah menimbulkan munculnya perdagangan global yang kemudian

terikat dalam perjanjian-perjanjian multilateral, maka munculah lembaga-lembaga internasional sepertiInternational Monetary Fund (IMF). Demikian juga Bank Dunia yang merupakan sumber dana dari pembangunan internasional. Dengan demikian proses globalisasi terus merasuk dalam pelbagai bentuk kehidupan manusia, politik, ekonomi, sosial budaya dan pembangunan manusia (human development).[16]

Tinjauan perspektif Kellner dari sudut pandang teori sosial kritis bahwa; globalisasi melibatkan pasar kapitalis dan seperangkat relasi sosial dan aliran komoditas, kapital, teknologi, ide-ide, bentuk-bentuk kultur dan penduduk yang melewati batas nasional via jaringan masyarakat global, transmutasi teknologi dan kapital bekerjasama menciptakan dunia baru yang menglobal dan saling menghubung. Revolusi teknologi yang menghasilkan jaringan komunikasi komputer, transportasi dan pertukaran merupakan pra-anggaran (presupposition) dari ekonomi global, bersama dengan perluasan sistem pasar kapitalis dunia yang menarik lebih banyak area dunia dan ruang produksi, perdagangan dan konsumsi kedalam orbitnya.[17]

Ketersinggungan globalisasi dengan sektor pendidikan telah mengakibatkan pergeseran paradigma. Ini terlihat dari mayoritas lembaga pendidikan berkompetisi

menghasilkan out-put yang siap kerja (baca: berorientasi pasar) tentu cara pandang ini telah keluar dari nilai-nilai pendidikan. Kebutuhan pasar adalah tenaga kerja yang ahli atau mempunyai skill untuk mengoperasikan teknologi industri. Manusia menjadi mekanistik dan telah tercerabut dari harkat kemanusiaanya karena telah teralienasi, tereksploitasi dan terasing dari nilai-nilai humanisme.

BAGIAN I : Analisis Kebijakan Pendidikan Perspektif Ekonomi-Politik; Pembajakan Sistemik Pendidikan Nasional oleh Pasar, Negara dan Rektorat

Salah satu isu living issue global dan nasional adalah soal pendidikan. Setiap tahu selalu muncul isu pendidikan. Kontroversi pun merebak. Hal ini tidak lepas dari perkembangan nasional. Kecenderungan internasional juga demikian. Terjadi pergeseran filsafat dan paradigma pendidikan seiring terjadinya pergeseran formasi sosial. Salah satu perkembangan terpenting yang kemudian menjadi medan makna perjuangan mahasiswa adalah proses integrasi pendidikan secara total dalam sistem kapitalisme. Artinya, pendidikan bukan sekedar proses social yang seolah bebas nilai. Namun sarat dengan muatan ekonomi politik yang strategis. Kajian kebudayaan menyebutnya sebagai bagian dari manifestasi komodifikasi kapitalisme. Disebut total sebab dalam kerangka tersebut, bukan hanya terjadi komodifikasi ilmu (Lyotard: 1997): Menemukan pergeseran bahwa universitas sekarang bukan lagi mementingkan penemuan apakah sesuatu itu benar atau tidak, melainkan apakah sesuatu itu berguna/ dapat dijual atau tidak, namun juga pendidikan berjalan di atas logika bisnis. Proses inilah yang menghantarkan pendidikan memproduksi nalar instrumental (Habermas), maupun rasionalitas teknologis (Marcuse).

Maka, tidak heran jika Susan Strange, ahli ekonomi politik, menyebut bahwa salah satu pilar dari empat pilar kapitalisme adalah knowledge structure. Mesin produski pengetahuan tiada lain institusi-institusi pendidikan. Sekali dikonsolidasikan, universitas, seperti dikatakan seorang ahli pembangunan, menentukan persepsi dan realitas social. Inilah yang dipergoki kalangan poststrukturalis yang dengan jitu menelanjangi relasi kuasa pengetahuan. Setiap pengetahuan selalu mengandaikan relasi kuasa tertentu. Sebab pengetahuan berkaitan dengan subjek yang menyusun, menyebarkan, dan merepreduksi pengetahuan yang sarat dengan kepentingan kekuasaan. Di sinilah pendidikan sebagai instrumen transformasi sosial, atau, dalam bahasa Chiko Mendez, sebagai “awal pergerakan” menjadi realisme utopis. Pada logika inilah, dan, jika mengikuti mereka, logika pasar, mahasiswa sebagai salah satustakeholder pendidikan, wacana dan praktek otonomi pendidikan (BHMN), seharusnya dibaca. Pembacaan ini akan diletakkan dalam konteks pergeseran di tingkatan global dan nasional.

  1. Melacak Konteks Global

Tulisan ini hanya akan fokus dalam konteks pendidikannya. Dalam bahasa akademik, pendidikan juga menjadi entitas social yang globalized. Karenanya, memahami carut marut pendidikan nasional juga tidak lepas dari anarki structural global. Transformasi structural dalam dataran ekonomi dan politik secara tak terelakkan mempengaruhi dunia pendidikan. Kaitannya adalah transformasi ekonomi mempengaruhi struktur pasar tenaga kerja global. Tenaga kerja global (yang dalam bahasa globalisasi disebut mendorong pergerakan orang) berkaitan dengan terutama institusi pendidikan tinggi.[18]

Pertama, transformasi aktivitas industri (sector sekunder) menuju sector tersier membutuhkan bukan hanya kualifikasi tenaga kerja yang terampil, tapi menguasai system teknologi baru yang dipakai secara luas dunia profesional. Penguasaan teknologi ini penting untuk mempercepat pengambilan keputusan dengan akurasi tinggi.Kedua, proses neoliberalisasi telah meningkatkan mobilitas pasar tenaga kerja yang berkualitas. Gejala ini telah meningkatkan kompetisi tenaga kerja luar biasa. Ketiga, bersatunya kekuatan ekonomi dan politik Eropa meningkatkan arus kerja sama dalam berbagai bidang. Pendidikan akan menjadi jantung riset untuk inovasi-inovasi ekonomi, social, dan politik. Keempat, proses neoliberalisasi berdampak pada menunrunnya peran nation-state yang pada gilirannya mengurangi investasi sector-sektor strategis janka panjang seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan system pensiun. Keempat proses tersebut mendorong pendidikan di Eropa semakin kian terprivatisasi, hingga menuju proses individualisasi.

  1. Melacak Konteks Nasional

Konteks politik kebijakan otonomi pendidikan (No.61/1999) adalah pemerintahan Habibie. Artinya, periode tersebut merupakan periode transisional pasca lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenannya. Konteks ini dipahami fase transformasi struktural dari kapitalisme berbasis negara (state-led-development) ke fase neoliberalisme yang ditandai oleh tidak dilibatkannya lagi negara sebagai “aktor” akumulasi modal. Artinya transformasi struktural neoliberal didorong bukan hanya dalam wilayah ekonomi politik, namun juga dalam konteks pendidikan. Pergeseran kelembagaan ekonomi politik neoliberal relatif terkonsolidir, sedangkan di tingkatan aktor politik Habibie mendapatkan serangan kuat terhadap legitimasi politik kepemimpinannya.

Konteks ekonomi saat itu adalah masih dalam fase recovery ekonomi akibat krisis moneter yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Namun karena paradigma recovery ekonomi yang dipakai adalah neoliberal, bukannya populis, atau sosialistik, maka pinjaman hutang kepada lembaga keuangan internasional (IMF/ WB) tak terelakkan. Pada saat yang sama, sejak tahun 1997 dan tahun berikutnya, adalah periode jatuh tempo hutang-hutang, baik swasta maupun pemerintah. Pada saat yang sama kurs rupiah masih anjlok. Hal ini berdampak pertama, terkurasnya atau bangkrutnya keuangan negara, kedua, terjadinya proses perampokan aset-aset rakyat melalui mekanisme yang disebut dengan debt-to-equityswap.

Secara garis besar, persoalan ekonomi Indonesia terkait dengan dua hal besar. Pertama, neoliberalisasi di Indonesia (privatisasi, swastanisasi, deregulasi, pencabutan subsidi), dan Kedua, aspek internal (domestic affairs) yang berkaitan dengan hal di atas. Proses neoliberalisasi di Indonesia sebenarnya sudah didorong sejak lama, bahkan sejak tumbangnya ORLA. Hanya saja ekstensifikasi dan intensifikasi neoliberalisasi di Indonesia memuncak setelah krisis 1997, yang menjadikan Indonesia negara neoliberal, bahkan lebih liberal di bidang pertanian ketimbang Jepang atau Amerika Serikat.[19]

Pada pra-reformasi, ekonomi Indonesia diatur dengan managemen Keynesian. Andrew Macintyre (disertasinya, 1990), yang mengkaji bisnis tekstil, farmasi, dan asuransi, di Indonesia berhasil memberikan konfigurasi ekonomi Indonesia. Dalam bidang tekstil, konfigurasinya dibangun atas dasar pilar buruh yang murah (bahkan lebih murah dibanding China dan India), monopoli impor barang-barang modal, dan perselingkuhan dengan elite politik. Sementara Indonesia, pada saat itu, di bidang farmasi konfigurasinya didominasi oleh mekanisme penentuasn harga pasar, system distribusi, margin keuntungan yang tinggi yang dipungut jaringan distribusi. Dengan mekanisme ini, beaya pengobatan Indonesia termasuk termahal di dunia setelah Jerman dan Swiss.

Hanya saja, mahalnya beaya tersebut diiringi mirahnya produk farmasi di Indonesia.

Kondisi tersebut jelas kurang menguntungkan bagi kerangka kerja kapitalisme. Maka, kemudian, didorong operasi untuk melakukan transformasi structural ekonomi Indonesia. Inilah transformasi neoliberal di Indonesia. Hasilnya, berbagai kebijakan protektif, perselingkuhan, berbagai perilaku pencarian rente, disapu habis oleh angin neoliberal. Kontradiksi internal, persaingan internal, dan tuntutan akumulasi modal menjadi variable penggeraknya. Pascareformasi kemudian dilembagakan dalam bentuk berbagai privtaisasi, swastanisasi, deregulasi, hingga pencabutan subsidi.[20]

  1. Membongkar Nalar Otonomi Pendidikan

Pertama, Nalar Kolonial/ Imperial/ Pasar. Nalar ini hendak meletakkan pendidikan sebagai ladang akumulasi keuangan, proses produksi dan reproduksi sosial terjadi, strategi kebudayaan dalam pertarungan hegemoni, yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu bentuk objektifikasi kesadaran sosial yang terdesain. Nalar ini mengubah secara radikal sejarah pendidikan secara kelembagaan sebagai kekuatan transformatif menjadi secara personal atau sekelompok elite dengan keasyikan persetubuhannya dengan realitas yang memproduksi komodifikasi dan fetisisme pendidikan.

Kedua, Nalar Negara. Otonomi pendidikan merefleksikan kegagalan negara menjalankan tugasnya kepada warga negara. Pendidikan merupakan hak sipil yang harus dipenuhi warga negara. Kegagalan ini merupakan hasil dari proses panjang pembusukan struktural Orba dan sapuan neoliberalisme yang memporakporandakan struktur ekonomi politik yang tidak memadahi lagi menjamin kebebasan pasar. Respons terhadap kondisi tersebut, dalam konteks pendidikan, melahirkan otonomi pendidikan untuk memperingan beban keuangan negara. Strategi ini di-launching dengan konstruksi politik wacana untuk mencegah pemborosan anggaran, himpitan keuangan negara yang tengah kolaps, serta untuk menjawab tantangan globalisasi. Inilah nalar negara. Negara hendak mengatakan bahwa kondisi objektif negara tidak memungkinkan lagi memberikan subsidi pendidikan kepada rakyat. Atas dasar itu secara cantik logikanya dilanjutkan dengan mengatakan bahwa beban dana pendidikan harus dipikul bersama masyarakat. Inilah nalar tak terkatakan negara di balik otonomi pendidikan.

Ketiga, Nalar Rektorat. Salah satu institusi yang tidak terlepas dari proses

pelembagaan otonomi pendidikan adalah rektorat. Bahkan dalam prosesnya, institusi ini yang mendesain konstruksi otonomi pendidikan. Nalar rektorat bertumpu pada tiga hal : 1]Keharusan universitas melakukan transformasi internal untuk menjawab tantangan globalisasi. 2] Memahami kondisi keuangan negara yang pada saat ini masih kedodoran. 3] Yang paling memahami dan berkompeten atas konsep otonomi pendidikan adalah mereka. Ini tercermin dalam proses perumusan yang tidak melibatkan seluruh civitas akademika seperti mahasiswa secara signifikan.

Keempat, Nalar Masyarakat. Pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara. Untuk meningkatkan harkat dan martabatnya masyarakat percaya pendidikan merupakan jalan terbaik. Pada titik ini nalar masyarakat dapat dibagi dua. 1] Nalar yang memandang pendidikan sebagai genesis transformasi sosial tanpa melihat arus dan gerak struktural di balik proses pendidikan, serta masih melihat pendidikann sebagai kewajiban mereka untuk memenuhinya. Nalar ini terbentuk melalui proses panjang secara sistemtik. 2] Nalar yang melihat secara kritis pada substansi pendidikan dan soal tanggung jawab negara dalam pendidikan. Dalam optik ini, substansi pendidikan sebenarnya instrumen kapitalisasi, dan jika diletakkan dalam konteks trasnformasi sosial, pendidikan hanya akan memperkukuh struktur sosial kolonial.[21]

  1. Analisis Akar Masalah Keterpurukan Pendidikan: Perspektif Ekonomi-Politik

Dengan melihat paparan di atas, menjadi jelas bahwa pendidikan menjadi arena pertarungan antara negara, pasar, dan masyarakat. Pertarungan ini menghasilkan konfigurasi negara-pasar vis-à-vis masyarakat. Negara bersekutu dengan kekuatan pasar untuk menjadikan pendidikan sebagai komodifikasi kapitalisme.

Masyarakat sendiri pada dasarnya telah lama menuntut otonomi pendidikan. Sebab selama ini pendidikan sudah terlalu jauh dipakai sebagai instrumen mempertahankan kekuasaan. Penetrasi negara dalam pendidikan, misalnya, terlihat dalam proyek ideologisasi melalui penataran P4, PMP, kewiraan, dan campur tangan negara dalam berbagai proses kebijakan kampus. Instrumentalisasi tersebut menjadi bagian dari lokus perjuangan mahasiswa.

Desakan tuntutan otonomi ini kemudian dengan licik “dibajak” oleh negara dengan konsep Badan Hukum Milik Negara. Dengan konsep BHMN ini, negara memang memberikan otonomi relatif terhadap universitas, namun sebatas dalam hal-hal administratif dan manajerial.

Hanya saja, dalam waktu bersamaan, dalam kanal otonomi itulah diselipkan agenda ekonomi politik tersembunyi dengan mendorong “otonomi keuangan”. Sekalipun demikian, secara politik, pemerintah masih tidak mau melepaskan kontrol politiknya terhadap pendidikan. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa pemerintah, melalui mendiknas, memiliki saham atau suara 35% dalam majelis wali amanat, lembaga yang secara politik berwenang menentukan rektor (pasal 14 (3) PP 61/99).

Sejarah menunjukkan gurita kekuasaan negara dalam pendidikan tidak pernah bermakna sebagai kontrol untuk menjaga kebebasan akademik dan politik di kampus. Alasan negara bahwa negara tidak memiliki dana untuk membiarkan subsidi pendidikan hanyalah alasan akal-akalan dari negara. Argumentasi tersebut runtuh baik di tingkatan teoretik maupun praksis. Secara teoretik, BHMN merupakan implikasi tak terelakkan dari otonomi pendidikan, sedangkan otonomi pendidikan merupakan implikasi dari konstruksi Letter of Intent IMF yang mengharuskan pemerintah memangkas subsidi sosial. Artinya, kebijakan otonomi pendidikan merupakan strategi diskursif untuk menyembunyikan maksud tersembunyinya, yakni menaikkan biaya pendidikan. Implikasi realnya: semakin banyak rakyat yang tidak dapat menikmati pendidikan.

Pencabutan subsidi pendidikan pada dasarnya hanya mengurangi tidak lebih dari 20 trlyun. Bandingkan dengan data berikut ini: bahwa menurut Kwik Kian Gie, pertahun uang negara yang dikorup-dirampas sebesar 444 trilyun rupiah (dengan rincian 90 trlyun berasal dari ikan, pasir, dan kayu yang dimaling, 240 trilyun pajak yang dibayarkan tetapi tidak masuk ke kas Negara, 40 trilyun subsidi perbankan yang muspro, 74 trilyun kebocoran APBN).[22]

Dengan demikian, Konsep otonomi pendidikan atau BHMN harus direstrukturusasi secara radikal. Radikalisasi tersebut mencakup pada aspek perluasan konsep otonomi akademik dan politik yang melibatkan bukan hanya kalangan elite perguruan tinggi, namun juga mahasiswa dan elemen perguruan tinggi lainnya, dan pada saat yang sama soal subsdidi keuangan tetap menjadi tanggung jawab negara (pengekslusian konsep otonomi keuangan dalam otonomi pendidikan). Otonomi terlalu sempit jika dimaknai dalam konteks manajerial dan administratif, namun juga harus menyentuh soal desain kurikulum yang pararel dengan basis sosial, metode kuliah, membangun relasi demokratik dalam kampus dan lainnya. Hanya dengan Radikalisasi tersebut persoalan real pendidikan Indonesia dapat direspons.

Ketidakjelasan basis filsafat dan paradigma pendidikan Indonesia sehingga berkali-kali mengalami reorientasi yang tidak penah jelas. Dimulai pada awal kemerdekaan dengan krikulum 1947, kemudian kurikulum 1964, kemudian berganti lagi pada kurkulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum mutakhir yang disebut kurikulum berbasis kompetensi (2004).

Problem pada dalam sumber daya pendidikan Indonesia Menurut Depdiknas, kekurangan guru secara nasional mencapai angka 427.903 orang, sementara dalam APBN tahun 2004 hanya dialokasikan dana untuk mengangkat guru Bantu sejumlah 80.000 orang. Sementara menurut versi ketua PGRI, Mohammad Surya (kompas, 17 Desember 2003), guru yang tersedia hanya berjumlah sekitar 2,2 juta, pada saat yang sama jumlah yang dibutuhkan mencapai dua kali lipatnya, dan setiap tahun sekitar 2000 guru memasuki masa pensiun.

Problematika pendidikan Indonesia di atas masih diperparah dengan berbagai belenggu idoelogis yang berasal dari kultur feodal ratusan tahun hingga yang secara sistematik dilembagakan dalam system pendidikan. Berbagai belenggu di atas, misalnya, ideology neoliberal yang mensubordinasikan pendidikan dalam kepentingan akumulasi modal, ideology militerisme yang secara sistemik menyeregamkan mulai cara berpakaian sampai cara berpikir peserta didik, ideologi positifistik yang tidak berakar dalam dunia batin masyarakat Indonesia, menjadikan pendidikan gagal sebagai instrumen transformasi sosial.

  1. Dari Imperialisme, Globalisme Ke Kapitalisme Pendidikan

Pendidikan dimaknai oleh banyak pakar sebagai institusi untuk mendidik generasi manusia dengan berbagai disiplin ilmu. Peradaban manusia juga tidak terlepas dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dunia akan berubah menjadi maju atau bahkan mengalami kemunduran tergantung pada penguasaan pengetahuan. Dilihat dari aspek historis pendidikan di Indonesia adalah warisan kolonial belanda yang sampai sekarang watak pendidikan Indonesia masih tercerabut dari akar tradisi. Untuk menata kembali butuh sistem pendidikan yang jelas, dan yang paling vital adalah bagaimana merumuskan paradigma.

Belum lagi terkait dengan kebijakan pemerintah saat ini, kebijakan belum berpihak kepada masyakat yang belum mampu. Hegemoni negara tentu sangat bersinggungan dengan kebijakan pendidikan, sehingga kekuasaan dan pendidikan harus dipisahkan dari mata rantai kepentingan politik sesaat.

Kemajuan peradaban yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi berimplikasi pada moralitas manusia. Efek globalisasi misalnya telah merambah berbagai sektor kehidupan manusia, mulai dari alat komunikasi, transportasi, dunia maya, dan kecanggihan teknologi lainnya. Globalisasi telah berdampak pada mainstream bahwa manusia harus bisa mengendalikan teknologi. Globalisasi ditandai dengan ketersinggungan antara negara, pasar atau sistem ekonomi global dan masyarakat sipil. Kalau diurai maka persoalan pendidikan Indonesia tidak hanya masalah penataan kurikulum, profesionalitas guru, out-put lembaga pendidikan, paradigma pendidikan, dan persoalan internal penyelenggaraan lembaga pendidikan lainnya. Tapi lebih dari itu ada faktor eksternal yang juga sangat berpengaruh pada pendidikan Indonesia yaitu persoalan rakyat miskin sehingga tidak mampu sekolah, disorientasi kebijakan pemerintah, pendidikan market oriented, relasi kekuasaan negara, dan pusaran arus globalisasi. Rumusan paradigma pendidikan tentu jangan sampai lemah karena terseret arus globalisasi. Sehingga tidak mengorbankan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan dengan memaksa out-put untuk diterjunkan ke dunia pasar kerja. Karena globalisasi tidak bisa dibendung maka sikap kita adalah harus berdapasi secara arif tanpa harus menolaknya. Kekuasaan negara yang berkolaborasi dengan kekuatan ekonomi global inilah yang menimbulkan dampak negatif dalam segala sektor negara termasuk dalam hal ini adalah dunia pendidikan.

  1. Dehumanisasi Oleh Rasionalitas Globalisasi

Manusia akan menjadi mekanistik karena harus menjalankan seluruh alat tehnologi. Teknologi tentu memudahkan kehidupan manusia tetapi dampak negatif yang timbul seringkali tidak sebanding dengan manfaatnya. Pusaran arus kapitalisme global yang bersumbu pada kekuatan pasar eropa tentu akan semakin mengendorkan kekuatan ekonomi negara-negara miskin dan berkembang. Berangkat dari refleksi tersebut kebijakan pendidikan harus kembali pada norma etik dengan beradaptasi atas fenomena global kekinian. Out put pendidikan harus memiliki moralitas tinggi, kepekaan sosial, menjunjung harkat dan martabat negara, dan ikut menentukan arah peradaban manusia.

Globalisasi merupakan suatu proses yang dinamis dari berbagai sektor dalam sejarah manusia. Aktor penting dalam proses ini terjadi pada akhir Perang Dunia II dengan lahirnya Brettonwood System, demikian pula muncul kerjasama bantuan internasional dalam bantuan sesudah perang dalam membangun kembali negara-negara yang hancur seperti eropa. Di Eropa dikenal rancangan kembali dalam bentuk Marshal Plan oleh Amerika Serikat. Di negaranegara Asia terjadi perubahan dalam integrasi tata ekonomi kolonial ke tata sistem ekonomi industri. Keseluruhannya telah menimbulkan munculnya perdagangan global yang kemudian

terikat dalam perjanjian-perjanjian multilateral, maka munculah lembaga-lembaga internasional sepertiInternational Monetary Fund (IMF). Demikian juga Bank Dunia yang merupakan sumber dana dari pembangunan internasional. Dengan demikian proses globalisasi terus merasuk dalam pelbagai bentuk kehidupan manusia, politik, ekonomi, sosial budaya dan pembangunan manusia (human development).[23]

Tinjauan perspektif Kellner dari sudut pandang teori sosial kritis bahwa; globalisasi melibatkan pasar kapitalis dan seperangkat relasi sosial dan aliran komoditas, kapital, teknologi, ide-ide, bentuk-bentuk kultur dan penduduk yang melewati batas nasional via jaringan masyarakat global, transmutasi teknologi dan kapital bekerjasama menciptakan dunia baru yang menglobal dan saling menghubung. Revolusi teknologi yang menghasilkan jaringan komunikasi komputer, transportasi dan pertukaran merupakan pra-anggaran (presupposition) dari ekonomi global, bersama dengan perluasan sistem pasar kapitalis dunia yang menarik lebih banyak area dunia dan ruang produksi, perdagangan dan konsumsi kedalam orbitnya.[24]

Ketersinggungan globalisasi dengan sektor pendidikan telah mengakibatkan pergeseran paradigma. Ini terlihat dari mayoritas lembaga pendidikan berkompetisi

menghasilkan out-put yang siap kerja (baca: berorientasi pasar) tentu cara pandang ini telah keluar dari nilai-nilai pendidikan. Kebutuhan pasar adalah tenaga kerja yang ahli atau mempunyai skill untuk mengoperasikan teknologi industri. Manusia menjadi mekanistik dan telah tercerabut dari harkat kemanusiaanya karena telah teralienasi, tereksploitasi dan terasing dari nilai-nilai humanisme.

BAGIAN II : Analisis Implementasi Kebijakan dan Pasca Pembatalan UU BHP

Reparadigmatisasi Pendidikan di Era Global

Ignas Kleden memberikan analisa kritis bahwa pendidikan nasional. Pertama, harus menciptakan masyarakat yang mempunyai kemampuan berfikir logis dan bertindak logis. Kedua, pendidikan humaniora harus dibedakan dari ilmu-ilmu humaiora dalam pengertian epistemologis, sehingga pendidikan humaniora menekankan kualitas-kualitas manusiawi dari peserta didik. Ketiga, pendidikan bukan hanya menciptakan orang dengan keahlian, tetapi orang-orang dengan kemampuan belajar tinggi.40

Tanpa mengabaikan otoritas negara dan arus globalisasi yang terus menggerus kekuatan masyarakat sipil, sistem pendidikan Indonesia harus merobah fundamen paradigma pendidikan. Pertama, perlu penataan sistem pendidikan yang beradaptasi dengan kekuatan global. Kedua, penegakan supremasi hukum dan kedaulatan politik nasional demi menciptakan kondusifitas segala sektor kehidupan, demokrasi, agama, pendidikan, sosial, politik, ekonomi, budaya, hankam. Ketiga, paradigma pendidikan untuk semua kalangan—education for all—dan pendidikan sepanjang hidup—long life education—harus menjadi mainstream kebijakan pendidikan nasional.

  1. Pendidikan Revolusioner; Melawan Kapitalisme

Pendidikan revolusioner harus dipandu oleh filosofi pendidikan revolusioner. Sasaran pendidikan harus mengenali dan mengakui keterkaitan timbal balik antara kehidupan sosial dengan pendidikan. Pendidikan revolusioner harus menyikapi perkembangan masyarakat kapitalis. Pendidikan harus memposisikan dirinya sebagai alat kritik egalitarian dan antiotoritarian kontemporer terhadap perkembangan wacana pendidikan dan masyarakat. Zaman dimana sekolah murah tampaknya memang sudah usai. Bahkan keinginan untuk menjadi guru yang manusiawi kini menjadi suatu keinginan yang tidak realistis. Hanya beberapa gelintir sekolah yang memberikan imbalan ‘manusiawi’ pada profesi guru. Jika diusut lebih jauh, komersialisasi pendidikan bersinggungan erat dengan tatanan serta pergeseran formasi kelas sosial yang berlangsung saat ini; formasi sosial yang meluluhlantakkan struktur dan sistem sosial yang lama. Termasuk didalamnya adalah dunia pendidikan. Dunia pendidikan adalah lingkaran yang berisi aktor-aktor yang mengalami perubahan sosial besar. Dunia harus sujud sepenuhnya pada demokrasi liberal yang saat ini menguasai arena kehidupan sosial. Tatanan ekonomi global ini yang menyebabkan kapitalisasi pendidikan.

Mengenai kapitalisme, kritik Karl Marx terhadap kapitalisme tidak hanya ditujukan kepada distribusi kekayaan, tetapi kapitalisme dipandang melanggengkan buruh menjadi terpaksa, teralienasi dan tidak bermakna, sehingga transformasi manusia menjadi ‘sebuah barang aneh yang timpang’. Emansipasi keterasingan manusia dalam masyarakat kapitalisme adalah usaha bagaimana menemukan hakekat manusia yang terhegemoni ideologi kapitalisme yang mengeksploitasi hakekat dan mengasingkan manusia. Menurut Franz Magnis Suseno ciri masyarakat modern adalah (1) Masyarakat berdasar industrialisasi dan perubahan total gaya hidup, (2) lahirnya masyarakat infomasi yang tidak tergantung alam, (3) Terjadi pertarungan ideologi, politik, budaya dan ekonomi modernisasi atau globalisasi hakekatnya bukan hanya perubahan institusional-melainkan juga perubahan kesadaran manusia. Problem modernitas menimbulkan budaya materialisme, konsumerisme, kriminalitas, pelecehan seksual, permisif, hedonisme dan tindakan asusila lainnya. Globalisasi telah memunculkan-masyarakat mekanismasyarakat global yang pluralistik dan kapitalistik.

Globalisasi dan modernisme mempunyai kaitan erat dengan kapitalisme pendidikan, dimana pendidikan dijadikan ajang akumulasi modal, dan menjadi ajang bisnis elit-elit pendidikan. Maka tidak heran kalau banyak muncul lembaga pendidikan yang berorientasi pasar (market oriented). Seiring berkembangnya pasar modal, maka semakin tinggi pula kebutuhan tenaga kerja. Dan yang paling efektif untuk menghasilkan tenaga kerja pasar adalah lembaga pendidikan. Pada titik inilah lembaga pendidikan telah kehilangan ruh dan mengalami disorientasi paradigmatik dimana pendidikan seharusnya berperan sebagai medan transormasi sosial bukan sebagai alat reproduksi sosial. Masyarakat pasar global dengan perangkat industri dan perdagangan bebas menantikan out put pendidikan yang sesuai dengan kompetensi dalam berbagai bidang kerja.

Tantangan ekonomi liberal telah berdampak pada; pertama, semua negara terpacu untuk membuka pasar dan mecabut semua subsidi yang memiliki tujuan perlindungan. Pasar yang dibuka ini diharapkan akan memacu suatu negara untuk berkompetisi secara terus menerus. Kedua, melakukan privatisasi terhadap sektor publik. Pemerintah mulai dilucuti agar 40 Ignas Kleden, Masyarakat dan Negara, Sebuah Persoalan, (Magelang: Indonesiatera, Cet, I., 2004) h. 150.19 tidak melakukan kontrol, tetapi membiarkan sektor swasta untuk mengambil alih. Keyakinan ketiga,bahwa sistem ekonomi liberal menempatkan Negara sebagai penjamin bagi kelangsungan sistem ekonomi pasar. Terobosan ini bermula pada pencopotan semua layanan publik, namun lama kelamaan menjadi upaya untuk melakukan kapitalisasi atas semua bentuk

layanan publik. Termasuk dalam hal ini pendidikan yang dulunya berorientasi pada pencerahan sekarang berorientasi pasar.

Posisi pendidikan dalam masyarakat global seharusnya melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideologykearah tranformasi sosial. Dan tujuan pendidikan adalah menciptakan ‘manusia ideologis’ yaitu manusia yang mempunyai kesadaran kritis. Manusia saat ini telah diberangus oleh perkembangan teknologi yang menciptakan kesadaran semu. Manusia menjadi sangat tergantung terhadap kemudahan-kemudahan teknologi. Secara terusmenerus manusia menjadi budak kapitalisme. Masyarakat modern adalah masyarakat yang mekanis dan statis, dimana manusia telah manusia rakus mengkonsumsi produk-produk industri.

  1. Komoditisasi Pendidikan

Dewasa ini umat manusia tengah memasuki suatu zaman baru yang ditandai dengan menguatnya paham Pasar bebas, yang dikenal sebagai zaman Globalisasi. Tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapat tantangan, karena pendidikan ternyata bagi sebagian manusia dapat digunakan untuk mengakumulasi kapital dan mendapatkan keuntungan. Bagaimana mungkin tradisi manusia tentang visi pendidikan sebgai strategi untuk eksistensi manusia yang telah di reproduksi berabad-abad selama ini, diganti oleh suatu visi yang meletakkan pendidikan sebagai komoditi. Tapi apa sesungguhnya yang mendorong terjadinya komoditisasi pendidikan ini?

Pendidikan diperlakukan sebagai komoditi diperkuat sejak dikembangkannya ditandatanganinya kesepakatan GATT, di mana dunia secara global telah memihak pada kepentinganpasar. Hal itu dilakukan demi membuka peluangbagi Trans National Corporations (TNCs) untuk ekspansi. Salah satu usaha strategis mereka adalah mempengaruhi kebijakan negara negara Selatan untuk melicinkan “jalan” bagi TNCs untuk beroperasi. Mekanisme dan proses Globalisasi yang diperjuangkan oleh para aktor utama, Globalisasi yakni TNCs, Bank DunialIMF melalui kesepakatan yang dibuat di WTO, sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang berangkat dari kepercayaan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dapat dicapai sebagai hasil normal dari “kompetisi bebas”. Kompetisi Pasar Bebas merupakan suatu kompetisi yang agresif akibat dari terjaganya mekanisme pasar bebas. Kesemua keyakinan ini berangkat dari suatu pendirian bahwa “pasar Bebas” itu efisien.

Pasar bebas diyakini sebagai cara yang tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam yang langka, demi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator apakah sumber daya telah habis atau masih banyak. Kalau harga murah itu berarti persediaan memadai. Harga mahal artinya produknya mulai langka. Harga tinggi maka orang akan menanam modal ke sana. Oleh sebab itu harga menjadi tanda apa yang harus diproduksi. ltulah alas an mengapa Neo-Liberal ekonomi tidak ingin pemerintah ikut campur, serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar untuk bekerja. Keputusan individual atas interest pribadi diharapkan mendapat bimbingan dari invisible hand sehingga masyarakat akan mendapat berkah dari ribuan keputusan individual tersebut.

Dan pada akhirnya kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang tersebut akan trickle down kepada anggota masarakat yang lain. Oleh karena itu sedikit orang tersebut perlu difasilitasi dan dilindungi. Kalau perlujangan dipajaki. Pendirian ini pada prinsipnya tidak bergeser dari paham Liberalisme yang dipikirkan Adam Smith dahulu kala dalam karyanya The Wealth of Nations (1776).

Paham inilah yang sejak lama berusaha untuk membatasi peran pemerintah dan lebih memberi kesempatan pada perusahaan perusahaan swasta untuk menjadi aktor dalam bidang ekonomi di bawah situasi persaingan bebas yang diciptakan oleh gagasan “Pasar Bebas”. ‘Biarkan pasar menentukan harga’. Akibat dari pendirian pasar bebas tersebut ada sejumlah akibat yang nantinya akan berpengaruh terhadap visi pendidikan dan akan memaksa komodifikasi pendidikan terjadi.

Pertama, mereka menuntut untuk membebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah, misalnyajauhkan pemerintah dari campur tangan di bidang perburuhan, investasi, harga serta biarkan mereka mempunyai ruang untuk mengatur diri sendiri, untuk tumbuh dengan menyediakan kawasan pertumbuhan. Di bidang pendidikan, implikasi pendirian ini adalah, pemerintahjuga harus melepaskan semua sekolahnya, dan serahkan urusan pendidikan kepada perusahaan swasta.

Kedua, mereka juga menuntut agar negara menghentikan subsidi kepada rakyat karena hal itu selain bertentangan dengan prinsip Neoliberal tentang jauhkan campur tangan 20 pemerintah juga bertentangan dengan prinsip pasar dan persaingan bebas. Oleh karena itu pemerintah harus melakukan privatisasi semua perusahaan milik negara term asuk lembaga pendidikan negara maupun semua bentuk “subsidi pendidikan” kepada rakyat harus dihentikan dan biarkan mekanisme pasar dalam sektor pendidikan yang menentukan.

Gagasan untuk menghapuskan subsidi terhadap universitas negara maupun penghapusan segala bentuk subsidi pendidikan ini berangkat dari asumsi bahwa perusahaan negara pada dasarnya dibuat untuk melaksanakan subsidi negara pada rakyat. Oleh karena subsidi pendidikan akan menghambat persaingan bebas dalam bidang pendidikan, maka subsidi pendidikan harus dihapus. Mereka juga percaya bahwa pasar bebas dalam pendidikan akan sulit diwujudkan jika masyarakat masih mempertahankan semangat dan ideologi ‘pendidikan sebagai hak semua manusia’ karena hal itu akan menghalangi pertumbuhan ekonomi disektor pendidikan.

Akibat Liberalisasi pendidikan ini, pendidikan akan hanya mampu dijangkau oleh mereka yang secara ekonomi diuntungkan oleh struktur dan sistim sosial yang ada. Sementara itu bagi mereka yang datang dari kelas yang dieksploitasi secara ekonomi tidak akan mampu menjangkau pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan telah menjadi suatu komoditi, bagi mereka yang memiliki uang dan mampu untuk membayarnya, akan menikmati pelayanan dan mutu pendidikan, sementara bagi mereka yang tidak mampu membayar pendidikan tidak akan mendapat akses dan pelayanan pendidikan. Pendidikan yang sejak lama menjadi usaha untuk mempertahankan eksistensi dan budaya manusia, saat ini tengah mengalami pergeseran orientasi, visi maupun ideologi yang berakibat ancaman bagi eksistensi manusia sendiri.

  1. Privatisasi Pendidikan

Dunia pendidikan kita tidak pernah lepas dari masalah. Selalu muncul polemik, mulai dari nasib guru, gedung sekolah yang roboh, uang sekolah yang mahal, hingga masalah komersialisasi pendidikan, terutama di perguruan tinggi. Ketika pendidikan dihargai sangat  mahal, maka protes pun melayang dari berbagai pihak. Bagaimanapun, saat pendidikan mahal diterapkan, akan timbul rasa ketidakadilan dalam masyarakat, terutama bagi kaum papa.

Sebagai sebuah media pembebasan, pendidikan semestinya menjadi milik tiap anggota masyarakat tanpa kecuali. Negara harus menyediakan sarana-sarana pendidikan, termasuk memberikan subsidi memadai agar rakyat memperoleh kesempatan belajar. Tidak ada alasan bagi negara untuk tidak memperhatikan pendidikan bagi mereka yang kurang secara finansial. Menguatnya liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi memberikan legitimasi bagi pemerintah untuk melakukan privatisasi pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah kemudian diserahkan kepada pihak swasta.

Akibatnya, pendidikan menjadi barang mewah dan sulit dijangkau oleh mereka yang berkantong tipis. Biaya pendidikan untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN) mulai dari Rp 45 juta hingga 1 miliar menjadi faktanya. Privatisasi pendidikan dapat dilihat dari seberapa besar anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah. Bila dibandingkan dengan negaranegara Asia lainnya, tingkat privatisasi pendidikan di Indonesia merupakan yang tertinggi.

Ada beberapa alasan yang mendasari terjadinya privatisasi. Pertama, privatisasi didorong oleh motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerintah sering dianggap kurang mampu mengelola pendidikan. Akibatnya, lembaga pendidikan menjadi tidak efisien, tidak kompetitif, dan tidak berkembang. Kedua, privatisasi pendidikan merupakan konsekuensi logis dari adanya prinsip teknologisasi, kuantifikasi, dan efisiensi dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, pendidikan dalam masyarakat sudah dipandang sebagai private goods, sehingga pemerintah tidak harus menyediakan pendidikan secara massal. Ketiga, pemerintah merasa tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai pendidikan. Dalam hal ini privatisasi dianggap dapat meringankan beban pemerintah dalam membiayai pendidikan, sehingga anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk pendidikan bisa dialihkan pada sektor lainnya yang dirasa lebih mendesak. Privatisasi pendidikan yang kemudian mengarah pada komersialisasi pendidikan kini seakan menjadi sesuatu yang sah-sah saja. Ketidaktegasan pemerintah dalam mengelola regulasi pendidikan menyebabkan PTN-PTN leluasa untuk mengeruk keuntungan dari mahasiswa baru. Imbasnya, rakyat miskin berada dalam posisi tawar yang lemah untuk mengenyam pendidikan.

  1. Komersialisasi Pendidikan melalui UU BHP

Pendidikan merupakan salah satu cara dalam melakukan transformasi pemikiran sehingga bentuk dan proses pendidikan yang berlangsung dalam sebuah negara memberikan sumbangan besar bagi terwujudnya suatu pemikiran. Komersialisasi Pendidikan dengan BHMN dan BHP Dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 53, lembaga pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah dan masyarakat harus berbentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam pasal 47 ayat 2 dinyatakan bahwa sumber21 pendanaan pendidikan adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Menurut pasal 49 ayat 3, pendanaan pendidikan pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada lembaga pendidikan diberikan dalam bentuk hibah. Bagaimana peran masyarakat dinyatakan oleh pasal 54 ayat 2, yakni masyarakat memiliki peran sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat dijelaskan oleh pasal 54 ayat 1 yaitu individu, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan. Dalam RUU BHP pasal 22 ayat 2 disebutkan aset BHP dapat berasal dari modal penyelenggara, utang kepada pihak lain, sumbangan pihak lain, dan hasil usaha BHP.

Menurut RUU BHP pasal 22 ayat 3, pemerintah dari sisi pendanaan memiliki fungsi sebagai pemberi hibah saja. Saat ini RUU BHP masih dalam pembahasan dan belum menjadi undangundang sehingga pengubahan status lembaga pendidikan menjadi Badan Hukum Pendidikan belum dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, sejak tahun 2000 pemerintah telah melaksanakan dan menyerahkan otonomi kampus kepada 4 Perguruan Tinggi Negeri terbesar yakni UI, IPB, ITB, dan UGM. Adanya otonomi kampus bagi ke-4 PTN tersebut disertai dengan perubahan bentuk kelembagaan menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Konsekwensinya, pengelolaan dan pendanaan kampus dilakukan sendiri oleh BHMN, sedangkan pemerintah tidak memikul tanggung jawab apapun kecuali memberikan hibah saja. Dengan format BHMN dan BHP, pemerintah secara sistematis berubaya menggeser peranan dan tanggung jawabnya dalam pendidikan kepada masyarakat. Akibatnya PTN yang menjadi BHMN harus mencari sendiri sumber pembiayaan pendidikan dengan cara menaikkan biaya pendidikan dan mengkomersilkan sarana-sarana pendidikan yang dimiliki oleh BHMN. Misalnya, pada tahun 2003 Institut Pertanian Bogor membutuhkan dana Rp 450 milyar. Untuk menutupi kebutuhan dana tersebut, IPB hanya dapat mengandalkan hibah pemerintah pusat sebesar Rp 64,35 milyar (14,3%), sementara kenaikkan biaya pendidikan yang dilakukan IPB hanya dapat menutupi 6,5% (Rp 29,25 milyar) kebutuhan anggaran. Untuk membiayai operasionalnya, IPB melakukan komersialisasi sarana-sarana pendidikannya seperti didirikannya Ekasari Plaza, Bogor Agribusiness Center, IPB International Convention Center, Kampus Gunung Gede dan Politeknik. Dari komersialisasi aset-aset IPB ini diperoleh pendapatan Rp 255,6 milyar (56,8%).

  1. Dampak Komersialisasi Pendidikan

Komersialisasi pendidikan mengakibatkan sulitnya akses bagi masyarakat terhadap pendidikan dari tingkat dasar hingga ke perguruan tinggi karena syarat utama untuk memasuki lembaga pendidikan adalah kemampuan finansial masyarakat bukan kemampuan berpikir. Di dalam lembaga pendidikan, khususnya PTN yang telah menjadi BHMN terdapat kesenjangan lebar antara mahasiswa yang diserap murni dari kemampuan berpikir dengan mahasiswa yang diserap karena kemampuan finanasial. Kondisi ini tidak baik bagi perkembangan dunia akademik.

Perguruan Tinggi tidak lagi fokus mengurus dan melayani pendidikan bagi para mahasiswanya, perhatiannya terpecah kepada urusan-urusan yang bersifat profit dan bisnis sehingga ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. BHMN dan BHP diberikan peluang melakukan. Hal ini menjadi sarana bagi pihak asing (khususnya Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara maju lainnya) untuk melakukan intervensi pendidikan melalui senjata utang langsung ke lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Peranan masyarakat Indonesia untuk pembiayaan pendidikan tidak dapat terlalu diharapkan terhadap dunia pendidikan Indonesia karena sebagian besar masyarakat Indonesia berasal dari kalangan menengah ke bawah. Akibatnya apa yang dimaksud UU Sisdiknas dan RUU BHP tentang kemandirian masyarakat adalah menyerahkan institusi pendidikan kepada para pemilik modal. Bagi lembaga-lembaga donor yang berbasis ideologis seperti The Asia Foundation dan Ford Foundation, hal ini melapangkan jalan bagi mereka guna mendorong perguruan tinggi melakukan riset yang berbasis kepentingan ideologi Kapitalis-Sekuler. Implimentasi Konsensus WashingtonPada tahun 1980 di Washington DC, Amerika Serikat dan Negara-negara maju, IMF dan Bank Dunia, serta MNC, melakukan pertemuan yang menghasilkan Konsensus Washington (KW). KW pada intinya merupakan program penyesuaian struktural yang hendak diterapkan oleh negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang dalam khususnya dalam bentuk pencabutan subsidi, menaikkan harga-harga barang publik, privatisasi aset strategis dan sumber daya alam.

Adanya komersialisasi pendidikan merupakan bagian dari program pengurangan dan penghapusan subsidi pemerintah terhadap pelayanan publik di sektor pendidikan dan

melepaskan harga dan biayanya kepada mekanisme pasar. Komersialisasi pendidikan juga merupakan salah satu bentuk program privatisasi aset-aset negara.22

  1. Kontroversi UU BHP: Otonomi atau Liberalisasi?

Sejak awal disiapkan, RUU BHP ”yang merupakan amanat UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional” memang menuai berbagai persoalan. Dominasi isu yang muncul adalah apakah negara bermaksud melepaskan tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Isu ini semakin kuat jika dikaitkan dengan gejala liberalisasi (neoliberalisme) ”atas nama profesionalisme dan korporasi” yang sudah terjadi pada sektor-sektor yang lain melalui privatisasi. Apalagi di dalam draf-draf awal RUU BHP tersebut dimungkinkan dan dimudahkannya lembaga pendidikan tinggi asing mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada.

Pasal ini memiliki sisi positif untuk meningkatkan daya saing pendidikan tinggi untuk menyerap pengetahuan pendidikan tinggi asing, tetapi juga dapat memiliki dampak negatif berupa liberalisasi pendidikan tinggi yang dapat menyebabkan intervensi dan penguasaan pendidikan oleh lembaga pendidikan tinggi asing. Pasal ini telah dihapus dalam UU BHP yang ditetapkan oleh DPR. Kontroversi lainnya adalah seputar biaya pendidikan yang dikhawatirkan akan semakin mahal dengan terbentuknya BHP. Kekhawatiran ini berasal dari praktik perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) sebagai species BHP yang selama ini terjadi dan bertendensi memarginalisasi anak-anak tidak mampu untuk mengenyam pendidikan. Perjalanan dan perenungan penulis terhadap praktik PT BHMN selama ini menyimpulkan bahwa pembiayaannya masih berpijak pada biaya operasional pendidikan (BOP) yang dipungut dari peserta didik. Hal ini terjadi karena berbagai persoalan, seperti aset PT BHMN yang masih dimiliki oleh negara menyebabkan kesulitan mengembangan sumber penerimaan lain dari ventura bisnis.

Di sisi lain, betapa sulitnya melakukan perubahan budaya penyelenggara (baik pengelola, dosen dan tenaga kependidikan) dari budaya birokrasi ke budaya korporasi. Jalan mudah yang selama ini ditempuh adalah membebankan pembiayaan operasional kepada peserta didik. Kekhawatiran ini cukup beralasan, meski selama ini PTBHMN secara terbatas juga memberikan fasilitas bantuan pendidikan dan beasiswa kepada peserta didik. Demikian besarnya kekhawatiran masyarakat terhadap mahalnya biaya pendidikan tersebut, para wakil rakyat di DPR merasa perlu untuk mencantumkan kewajiban pemerintah dalam pembiayaan pendidikan oleh BHP. Dalam draf terakhir yang disahkan pada 17 Desember 2008 lalu, pasal-pasal tentang kekayaan dan pendanaan pendidikan oleh BHP diarahkan untuk memperkuat peran negara dalam pembiayaan pendidikan. Misalnya saja kekayaan BHP pemerintah/pemerintah daerah (BHPP dan BHPPD) merupakan kekayaan pendiri (negara/pemerintah daerah) yang dipisahkan (Pasal 37).Sedangkan semua bentuk pendapatan dan sisa hasil usaha kegiatan maupun penggunaan tanah negara tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak (Pasal 38) dan harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk tujuan peningkatan kualitas pendidikan.Khusus untuk pendanaan pendidikan bagi BHPP dan BHPPD, pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 biaya operasional untuk pendidikan menengah dan paling sedikit 1/2 biaya operasional untuk pendidikan tinggi (Pasal 41 ayat 4 dan 6). Biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung oleh peserta didik dalam BHPP dan BHPPD paling banyak 1/3 dari biaya operasional. Dalam pasal lain UU BHP juga mewajibkan penyelenggara pendidikan untuk memberikan beasiswa, bantuan pendidikan, kredit mahasiswa dan pemberian pekerjaan kepada peserta didik (Pasal 40), dan wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20% dan jumlah keseluruhan peserta didik.

Hal menonjol dan sampai saat ini tetap menjadi ganjalan dalam UU BHP adalah berlakunya ketentuan BHP bagi penyelenggara pendidikan swasta oleh masyarakat. Seluruh ketentuan BHP berlaku bagi BHP masyarakat (BHPM), kecuali mengenai ketegasan bantuan pemerintah untuk biaya investasi, beasiswa dan biaya operasional pendidikan sebagaimana berlaku bagi BHPP dan BHPD. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memang ikut menanggung dana pendidikan untuk BHPM dan BHP penyelenggaraan (yayasan dan perkumpulan) dalam bentuk bantuan pendidikan, tetapi hal ini hanya berlaku bagi pendidikan dasar dan tidak ditentukan besaran minimal bantuan tersebut. Dapat dikatakan bahwa proporsi pengaturan pasal-pasal dalam UU BHP lebih condong dan lebih cocok untuk lembaga pendidikan pemerintah ketimbang lembaga pendidikan swasta.

  1. Pendidikan Kita Berwajah Neoliberalisme

Kekhawatiran pendidikan kita berwajah neoliberalisme memang beralasan, terutama dengan kehadiran RUU BHP karena mengarah pada privatisasi atau swastanisasi. Di mana pelayanan publik sudah memasang target segmen khusus kepada masyarakat. Tujuannya, tidak lain demi mencari keuntungan. Kekhawatiran itulah yang membuat kehadiran RUU BHP yang tengah digodok di parlemen menuai kontroversi. RUU BHP lahir dari implementasi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003. Berdasarkan bunyi salah satu pasalnya, Pasal 53 ayat 1, yaitu penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. RUU BHP berisi antara lain, melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dengan perguruan tinggi swasta (PTS).

Dalam era BHP itu lebih mengedepankan kemandirian perguruan tinggi dalam aspek manajemen administrasi keuangan, sumber daya manusia, dan akademik. Bahkan, perguruan tinggi juga bebas untuk bekerja sama dengan institusi asing. Dalam neoliberalisme pendidikan peran negara dalam urusan pembiayaan pendidikan menjadi terlepas. Tentu saja, kita akan menolak bila pemerintah melepaskan tanggung jawabnya atas pembiayaan pendidikan. Ada beberapa tawaran terhadap kehadiran RUU BHP itu, terutama untuk menghentikan kekhawatiran terhadap munculnya semangat neoliberalisme pendidikan.

Pertama, selayaknya model pelayanan publik untuk hak-hak dasar warga negara lebih pantas dibenahi dengan modernisasi ketimbang privatisasi. Pasalnya, hak atas pendidikan merupakan hak pribadi yang berakar dalam kebutuhan pokok manusia. Manusia tidak bisa mempertahankan hidupnya tanpa suatu pendidikan. Kebutuhan akan pendidikan itu termasuk kebutuhan pokok yang tidak perlu direduksi dengan kebutuhan lain. Oleh karena itu, manusia mempunyai hak dan kewajiban sekaligus dalam pendidikan.

Kedua, untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat yang transparan dan akuntabel, diperlukan BHP yang berpola kemitraan antara pemerintah dan masyarakat (public private partnership). Bukan privatisasi ataupun swastanisasi. Tampaknya, pola ini lebih sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Artinya, pemerintah dituntut untuk menguraikan dan menuangkan apa yang telah diamanatkan pasal-pasal tersebut dalam RUU BHP. Usaha itu perlu dilakukan untuk menghindari pengelolaan pendidikan terperosok dalam jurang free fight liberalism. Dalam konteks itu, pemerintah harus membangun sistem pembiayaan pendidikan yang berkeadilan sosial. Artinya, pemerintah wajib memberikan beasiswa kepada mereka yang status ekonominya tidak mampu. Bukankah tugas negara itu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Hal itu untuk menghindari hanya anak-anak dari kalangan keluarga kaya yang bisa menikmati pendidikan di perguruan tinggi, sedangkan masyarakat miskin hanya gigit jari dengan memperoleh pendidikan ala kadarnya.

Ketiga, hal lain yang juga perlu menjadi bahan pertimbangan adalah merangsek masuknya subsidi silang dalam Undang-Undang BHP. Itu merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perguruan tinggi. Jadi, tidak hanya perusahaan atau lembaga ekonomi profit yang memikirkan dan menjalankan program sosial lewat corporate social responsibility (CSR).

Lembaga pendidikan tinggi pun sudah seharusnya melakukan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Bila subsidi silang masuk dalam salah satu pasal UU BHP kelak, berarti akan mewajibkan seluruh perguruan tinggi di Tanah Air untuk melaksanakannya karena telah menjadi sebuah kebijakan nasional. Paling tidak, hal tersebut akan berimbas makin banyak warga negara yang mengenyam pendidikan tinggi dan semakin banyak pula potensi dari suatu bangsa untuk mencurahkan kemampuannya dalam peningkatan kualitas kehidupan bangsa.

Keempat, menolak kehadiran BHP, karena hanya akan menyengsarakan masyarakat kecil untuk memperoleh pendidikan yang layak. Benarlah apa yang diungkapkan Bourdieu bahwa pendidikan hanya mereproduksi perbedaan dalam masyarakat. Alangkah mengenaskannya kondisi pendidikan kita ke depan. Oleh karena itu, perdebatan panjang masih perlu diupayakan untuk mencari solusi terbaik.

  1. Pembatalan UU BHP

Prof. Dr. Mohammad Nuh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) merancang Peraturan Pemerintah (RPP) yang baru pasca-pembatalan UU BHP. UU Sisdiknas Tahun 1998 telah melahirkan PP 60/1999 dan PP 61/1999. PP 60/1999 itulah yang menjadi “cantolan” (sumber hukum) PTN dalam mengatur dirinya, sedangkan PP 61/1999 yang melahirkan PT BHMN.

UU Sisdiknas akhirnya diubah menjadi UU 20/2003, kemudian UU Sisdiknas 20/2003 itu melahirkan PP 17/2010 tentang pengelolaan penyelenggaraan pendidikan. PP 17/2010 itu sendiri menganulir PP 60/1999 dan PP 61/1999, tapi PP 17/2010 tidak menjadi `cantolan` (sumber hukum) dari UU BHP, sehingga PP 17/2010 adalah PP terkait UU BHP yang hidup Kemendiknas tidak akan menggunakan PP 17/2010 sebagai `cantolan` yang masih hidup, melainkan pihaknya akan menempuh langkah yang paling aman dengan merancang PP baru yang tetap mengarah kepada komitmen kepada kualitas pendidikan. Bahkan, kami akan mengambil hikmah dari pembatalan MK itu dengan melakukan penataan ulang untuk sistem pendidikan nasional. Kalau selama ini sistem yang ada lebih menonjol pada otonomi, maka PP yang baru akan melengkapi dengan pilar lain. PP yang baru nantinya memiliki empat pilar yakni otonomi, akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. misalnya, aturan tentang kursi di sebuah perguruan tinggi untuk calon mahasiswa yang miskin sebanyak minimal 20 persen sebagaimana diatur dalam UU BHP akan tetap dipertahankan dalam PP yang baru.Tapi, persyaratan minimal 20 persen itu akan dilengkapi dengan sistem pelaporan secara online yang akuntabel, sehingga persyaratan 20 persen itu akan memiliki jaminan dalam pelaksanaannya. Pendidikan tinggi saat ini terjadi missing link menjadi mahal dan sulit terjangkau masyarakat, apakah faktor efisiensi, mis-manajemen, akuntabilitas, atau apa penyebabnya. Kami akan merumuskan komponen biaya pendidikan tinggi, apakah yang menjadi komponen pemerintah dan apa yang menjadi komponen masyarakat, sehingga akan diketahui rumusan yang membuat pendidikan tinggi menjadi terjangkau, sebab calon mahasiswa masyarakat berkemampuan sedang relatif banyak. Ditanya tentang tujuh26 perguruan tinggi yang sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), ia mengatakan PT BHMN tetap harus mengacu pada PP yang baru, namun hal itu tidak akan dipaksakan. PT BHMN akan tetap berjalan, tapi ada masa transisi untuk memenuhi PP yang baru. Misalnya, UI sekarang `kan memiliki karyawan yang PNS dan karyawan yang merupakan pegawai BHMN, tentu perlu waktu untuk berubah ke arah PP yang baru.

Menurut Prof. Dr. Mansyur Ramli Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendiknas menjelaskan, dua alternatif payung hukum tersebut yakni peraturan pengganti undang-undang (perppu) dan revisi PP 17/2010 tentang penyelenggaraan pendidikan. “Naskah perpu sudah siap dan begitu pula revisi PP. Pada rapat kerja dengan Komisi X DPR, Prof Dr Mansyur menjelaskan, yang akan diatur dalam perpu adalah landasan hukum bagi ketujuh perguruan tinggi negeri berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yakni UI, ITB, IPB, Unair, UGM, UPI, dan USU. Perppu tersebut nantinya juga akan mengatur pengelolaan keuangan dan otonomi perguruan tinggi. Akan tetapi masalah yayasan masih belum masuk di peraturan pengganti ini. Sementara Johannes Gunawan Konsultan UU BHP Kemendiknas saat raker menjelaskan, dua alternatif itu diajukan untuk mengantisipasi beberapa jenjang pendidikan yang selama ini mengacu pada UU BHP. Diantaranya jenjang pendidikan menengah atau madrasah yang berbentuk atau diselenggarakan yayasan dan pendidikan tinggi berbadan hukum milik negara (BHMN).Selain itu, ada pendidikan tinggi yang berbentuk yayasan dan pendidikan tinggi yang berbentuk badan hukum pendidikan (BHP) seperti universitas pertahanan. Lebih jauh dia menambahkan, ketidakjelasan bentuk badan hukum bagi yayasan disebabkan yayasan tidak boleh secara langsung menyelenggarakan pendidikan, melainkan dilakukan dengan membentuk badan usaha. Berdasar pasal 7 ayat (1) UU No 16 Tahun 2001,yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud yayasan. ”Hal tersebut bertentangan dengan prinsip nirlaba bagi badan

hukum penyelenggara pendidikan Pasal 53 ayat (3) UU Sisdiknas,” terangnya. Selain itu,menurut Pasal 39 PP No 63 Tahun 2008 tentang Yayasan, yayasan yang sampai tanggal 6 Oktober 2008 belum menyesuaikan dengan UU, tidak diperbolehkan lagi menggunakan kata yayasan serta harus bubar dan melikuidasi kekayaannya. Hingga saat ini masih terdapat ribuan yayasan yang belum sesuai dengan UU tersebut sehingga nasib siswa dan mahasiswa pun tidak jelas. Begitu pula ijazah yang diterbitkan sekolah atau perguruan tinggi yang tidak berbadan hukum menjadi ilegal. Menurut Ferdiansyah Anggota Komisi X DPR menyetujui alternatif perpu dapat mengatur tentang tata kelola dan status badan hukum. Karena itu, pihaknya menunggu pengajuan dari Kemendiknas terkait alternatif tersebut. Sementara Abdul Wahid Hamid anggota Komisi X DPR menjelaskan, perppu memang lebih baik karena kondisi darurat yang dialami pengelola pendidikan usai UU BHP ditolak MK. Kemendiknas mesti mempersiapkan PP sebagai substansi di bawah perppu. Sedangkan Dedi Suwandi Gumelar anggota Komisi X DPR lebih memilih revisi PP 17 sebagai peraturan baru. Pasalnya, pasalpasal dalam PP tersebut sudah mengadopsi elemen-elemen, baik dalam UU BHP dan sudah merujuk ke konstitusi yang telah ada. Yang paling cepat diimplementasikan adalah PP 17.

Kalau ajukan UU, butuh waktu yang sangat lama. Sebelumnya kalangan rektor juga masih berbeda pendapat terkait payung hukum pengganti UU BHP. Prof. Dr.Akhmaloka Rektor ITB berharap kalangan perguruan tinggi tetap diberikan otonomi untuk mengelola kampus. Karena itu, apapun payung hukumnya harus bisa menjembatani aspirasi masyarakat kampus.

Mendiknas telah meminta kalangan kampus untuk tetap menjalankan aktivitas pendidikan. Meski landasan hukum keberadaan PTN BHMN telah ditolak, status tersebut masih tetap berlaku. Sebab, keberadaannya mengacu pada UU Sisdiknas.

  1. Akibat UU BHP diberlakukan di Indonesia

(a) Kampus yang Komersil Tidak Dapat Dihindari.

Banyak kalangan yang mengatakan bahwa BHMN bukanlah komersialisasi apalagi privatisasi kampus. Mereka salah besar, pada kenyataannya justru komersialisasi ini tidak dapat dihindari. Kemudian, karena pencarian dan pengelolaan keuangan institusi pendidikan dilakukan secara otonomi, di mana pemerintah tidak campur tangan lagi, privatisasi kampus malah semakin jelas. Aset-aset perguruan tinggi dijadikan bisnis untuk mencari uang. Misalnya saja IPB mendirikan Bogor Botany Square, Ekalokasari Plaza, dan pom bensin di wilayah kampusnya. Sebenarnya ini sudah melanggar Tri Dharma Perguruan Tinggi karena menjadikan bagian kampus sebagai pusat bisnis. Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perguruan tinggi konversi aset tersebut dikatakan boleh-boleh saja. Permasalahannya jika institusi pendidikan tidak mempunyai aset, atau sedang buntu tidak memiliki cara lain untuk memperoleh dana. Alhasil biaya pendidikanlah yang naik.

Peningkatan biaya pendidikan dijumpai pada semua perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN ini. Sebagai contoh seperti yang terjadi di UI, pada tahun 1999, Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) sebesar 1.5 juta rupiah, meningkat tiga kali lipat dari biaya sebelumnya yang limaratus ribu rupiah. Lalu, tahun 2003, Program Prestasi Minat27 Mandiri (PPMM), mengharuskan mahasiswa membayar uang masuk sebesar 50-60 bahkan 100 juta rupiah, belum uang pangkalnya (admission fee) yang kisarannya 5-25 juta rupiah. Ini pada perguruan tinggi yang BHMN. Kenyataannya akan berbeda jika semua institusi pendidikan (UU-BHP juga mencakup pendidikan dasar dan menengah) telah berubah menjadi BHP.

(b) Timbul Kesenjangan dalam Bidang Pendidikan

Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak rakyat Indonesia yang ingin mengenyam pendidikan tinggi (bahkan pendidikan dasar), namun dibatasi oleh kemampuan finansialnya. Jika pada institusi pendidikan, komersialisasi tidak dapat dihindari, apa yang terjadi pada mereka?

Apakah hak mereka untuk mendapat pendidikan terabaikan?.

Yang terjadi adalah pengkotak-kotakan mahasiswa. Mahasiswa yang berduit mendapat

kesempatan yang lebih. Bisa dipastikan akan timbul kesenjangan baru. Suatu fenomena pada kampus-kampus PT BHMN, tempat parkir dipenuhi oleh mobil-mobil para mahasiswa.

Memang bukan indikasi utama, tetapi cukup menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat bahwa yang kuliah hanyalah yang kaya alias mampu saja. Sampai timbul sinisme, orang miskin dilarang kuliah. Pada PTBHMN memang masih terdapat subsidi atau beasiswa bagi yang kurang mampu, tapi akankah seterusnya terjamin jika keuangan institusi pendidikan tersebut sedang mengalami krisis? Atau dengan menaikkan biaya pendidikan lagi?

(c) Pendidikan Tinggi Indonesia Tidak Lagi Independen

Seperti sudah menjadi kebiasaan, jika pemerintah punya proyek baru dananya pasti dari berutang. Akibatnya isi proyeknya tergantung kompromi kedua belah pihak dan tentu saja harus menyenangkan pemberi utang. Proyek IMHERE dan program-program sebelumnya, dananya berasal dari pinjaman (utang) dari pihak asing (World Bank, Asian Development Bank, dan sebagainya). Mereka begitu baik bersedia memberikan ”bantuan” untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Apakah pemerintah pernah berpikir, apa maksud mereka dibalik bantuan itu?. Yang perlu dicermati adalah pertama, kebijakan pendidikan Indonesia menjadi tidak independen. Kedua, adanya bunga menambah beban pembayaran semakin tinggi. Bukankah Indonesia masih memiliki utang?. Pada akhirnya ketergantungan tersebut mengakibatkan pemerintah tidak dapat melepaskan diri dari intervensi asing.

(d) Pemerintah Melepaskan Diri dari Tanggung Jawabnya

UU-BHP menegaskan pergeseran peran pemerintah dalam bidang pendidikan dari penanggungjawab menjadi pemrasaran (hanya memberi kesempatan dan fasilitas). Seperti yang diatur dalam RUU-BHP swasta (atau disebut masyarakat) diberi kesempatan seluasluasnya untuk berperan menyelenggarakan pendidikan. Bukankah ini sama dengan yang terjadi di negara-negara liberalis di mana pendidikan bukan tanggung jawab sepenuhnya pemerintah. Itu jelas sekali, bahkan dalam penerapan PTBHMN sudah tampak. Sektor pendidikan saat ini mendapatkan anggaran kurang dari 20 % dari APBN, lebih diutamakan untuk pendidikan dasar dan menengah. Dikatakan bahwa PTBHMN hanya dipayungi PP sehingga Departemen Keuangan tidak mengakuinya sebagai salah satu pos anggaran negara. Dapat dibayangkan, bagaimana nasib pendidikan tinggi Indonesia jika pemerintah berlepas tangan semacam ini.

(e) Pasar Bebas Pendidikan

Ciri khas pasar bebas adalah adanya persaingan di mana yang berkemampuan (modal) lebih akan menang. Yang tidak berkemampuan akan kalah bahkan tersingkir. Kenyataan demikian sudah tampak seperti yang telah dijelaskan pada poin ketiga, bahwa mahasiswa berduit menyingkirkan kesempatan mahasiswa yang tidak berduit. UU-BHP dalam pendidikan menjadi sebuah komoditas. Standar suatu mata kuliah akan

diajarkan atau tidak kepada peserta didiknya, berdasarkan relevansi dan tingkat permintaan atau keinginan pasar (para kapitalis—red). Tidak heran jika nantinya akan terjadi buka-tutup pada mata kuliah atau bahkan fakultas. Dan dapat dipastikan bahwa yang akan mengarahkan sistem pendidikan di Indonesia pun adalah pasar. Bila pasar di Indonsia saat ini dikuasai oleh asing, maka pendidikan Indonesia akan dikuasai oleh asing. Jadi pemerintah janganlah berharap banyak dari lulusan perguruan tinggi di negerinya mampu menyelesaikan persoalan bangsanya, karena mereka diarahkan untuk menyelesaikan persoalan bangsa lain (penjajah—red).

Pada UU-BHP pasal 6 tertulis, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang

diakui di negaranya dapat mendirikan BHP baru di Indonesia, dan bekerjasama dengan BHP yang keseluruhan anggota MWAnya berwarganegara Indonesia. Pasal ini mengindikasikan akan terjadi persaingan institusi-institusi pendidikan Indonesia dengan intitusi-institusi asing. Sangat jelas bahwa Indonesia akan kalah, dikarenakan secara finansial kemampuan Indonesia masih di bawah asing. 28

  1. Bagaimana Peran Pemerintah UU BHP

Sesuai bunyi Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan Pasal 31 Ayat 2 yang berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Artinya pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang. Ini berarti, pemerintah memiliki kewajiban penuh memikul seluruh beban biaya pendidikan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun kenyataannya adalah sampai saat ini warga negara (rakyat) masih saja dibebani dengan biaya pendidikan yang sangat tinggi. Dalam UU Sisdiknas pasal 9 meminta masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Walaupun dengan dalih sebagai sumbangan sukarela, namun kenyataannya adalah masyarakat memang diwajibkan untuk membayar biaya pendidikan yang seharusnya gratis. Demikian juga dengan RUU BHP yang isinya, antara lain, meminta partisipasi masyarakat atas tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Ini berkaitan dengan pemenuhan atas pembiayaan pendidikan. Jika RUU BHP disahkan, setiap SD-SLTA negeri/swasta dan perguruan tinggi negeri akan menjadi BHP. Konsep BHP sebetulnya berangkat dari paradigma bahwa dalam situasi negara belum mampu membiayai pendidikan secara utuh, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Namun, istilah “peran serta masyarakat” itu cenderung disalahartikan dengan cara menggali dana dari masyarakat, terutama uang kuliah mahasiswa, di samping dari kerja sama riset dengan dunia usaha. UU BHP adalah upaya pengalihan tanggung jawab negara terhadap pendidikan dengan meminta masyarakat memikul pembiayaan pendidikan. Jika UU ini diterapkan akan makin sedikit masyarakat tidak mampu yang bisa mengakses pendidikan tinggi. Konsekuensinya, kampus hanya bisa diakses oleh mahasiswa kaya, sementara yang miskin kian tersisih. Kampus yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar.

Belajar dari “percobaan” BHMN justru terkesan sebagai dibiarkan dan perlombaan menggali dana sebanyak mungkin dari masyarakat. Biaya yang selangit dan aroma penggalangan dana besar-besaran dari orang tua peserta didik, mewarnai PT BHMN selama ini. Idealnya memang dana digali dari sumber lain melalui kerja sama dengan berbagai pihak.

Bukan dari orang tua peserta didik. Namun, hal itu membutuhkan kreativitas, kerja keras, dan tentu butuh waktu lebih lama, sementara kebutuhan makin mendesak. Tak heran, fenomena penerimaan mahasiswa baru non-SPMB pun merebak. Berbagai PT BHMN punya nama-nama sendiri terhadap “pintu alternatif” ini. Harganya tidak tanggung-tanggung, bisa mencapai puluhan juta rupiah. Merekrut mahasiswa sebanyak-banyaknya dan menaikkan uang kuliah setinggi-tingginya, dan melakukan seleksi mahasiswa seringan-ringannya, memang bisa jadi rumus cespleng untuk mendapatkan dana. Perguruan tinggi di Indonesia belum berpengalaman dalam menswastakan diri. mem-BHP-kan lembaga pendidikan sebagai upaya komersialisasi dan tak lebih dari representasi neoliberalisme. Ini jelas agenda neoliberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan. Seharusnya pemerintah tidak boleh lepas tangan sama sekali. Alih-alih memenuhi batas 29 alokasi minimal pada pembiayaan pendidikan sebesar 20 persen, dalam RUU BHP tidak terdapat kewajiban pemerintah untuk memberi dana rutin. Ujung-ujungnya nanti hanya orang kaya yang bisa masuk. Lama-lama tidak akan terjangkau oleh orang yang tidak mampu.

Mahalnya biaya pendidikan mungkin tidak terlalu terasa lagi, karena lama-lama akan terbentuk komunitas homogen, alias orang yang mampu saja. Pada intinya, bentuk apa pun suatu perguruan tinggi, selama dimaksudkan untuk memperluas akses masyarakat mendapatkan pendidikan, semakin bagus.

Pemerintah perlu menimbang kesiapan masyarakat untuk menghadapi mahalnya biaya pendidikan akibat privatisasi. Privatisasi terutama sekali berpotensi membatasi orang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas. Privatisasi pendidikan seperti yang digariskan dalam UU BHP menyebabkan pembiayaan pendidikan kembali ke masyarakat. Kondisi saat ini masyarakat dinilai belum siap untuk menanggung biaya pendidikan sendiri, tanpa campur tangan pemerintah. Dalam UU Sisdiknas (UU No 20 Tahun 2003), disebutkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Tapi, perlu dilihat juga, kondisi dan kesiapan masyarakat sendiri. Privatisasi jelas akan melambungkan biaya pendidikan.

Rabu 31 Maret 2010 lalu, dengan penuh kebijaksanaan dan wibawa Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU BHP dan menyatakan UU BHP tidak lagi berlaku dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dalam kesimpulannya MK menyatakan UU BHP Inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. MK menilai, UU BHP ini menyeragamkan bentuk badan hukum pendidikan sehingga mengabaikan bentuk badan hukum lainya seperti yayasan, wakaf dan sebagainya. Selain itu, penyeragaman ini juga mengakibatkan orang miskin tidak bisa mengakses pendidikan padahal hal tersebut diamanatkan UUD 1945. Dengan pembatalan UU BHP ini akan membuka lembaran baru dunia pendidikan di Indonesia termasuk penyedia jasa pendidikan baik itu pendidikan dasar, menengah, atas maupun pendidikan tinggi. Pasca pembatalan UU BHP ini, pemerintah harus mempertegas arah regulasi pendidikan, termasuk mengembangkan jaminan sosial pendidikan untuk keluarga miskin secara melembaga dan berkelanjutan dengan tunjangan pendidikan, beasiswa, dan subsidi silang.

Pemerintah harus berkomitmen untuk tetap ambil bagian dalam dunia pendidikan. Keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan cuci tangan pemerintah. Dengan komitmen dan manajemen profesional, dana pendidikan dapat dimobilisasi dari berbagai sumber.

Dengan Pembatalan UU BHP ini, diharapkan lembaga pendidikan dapat merubah

kebijakannya. Penerimaan mahasiswa melalui jalur khusus yang diterapkan oleh beberapa perguruan tinggi yang mematok dana sampai puluhan bahkan ratusan juta sebagai sumbangan awal agar dapat mengenyam pendidikan yang diidamkan harus segera di tinjau ulang. Karena apabila kebijakan ini tetap diteruskan maka institusi pendidikan semakin tidak memberikan tempat bagi si miskin untuk mengembangkan dirinya. Perhatian yang tulus dari pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan yang memproteksi pendidikan dari dunia komersialisai, liberalisasi serta privatisasi dan kebesaran hati dari penyelenggara pendidikan untuk memperhatikan terrhadap lingkungan sosial ekonomi adalah kunci keberhasilan dunia pendidikan. Semoga pendidikan yang berkualitas dengan biaya murah dan bahkan gratis dapat terwujud.

D. PARADIGMA PENDIDIKAN INDONESIA

  1. Hasil Pendidikan Nasional; Kemacetan Transformasi Sosial ?

Dari pemetaan di atas, sistem pendidikan di Indonesia selama ini masih jauh untuk dikategorikan sebagai pendidikan kritis. Dapat pula dikatakan, dalam taraf tertentu pendidikan kita justru terjebak dalam paradigma konservatif, meskipun kalau dilihat secara umum pendidikan nasional termasuk dalam mainstream liberal. Ini ditandai mulai dari privatisasi pendidikan, McDonalisasi Pendidikan, model subjek-objek, serta orientasinya yang kental dengan ideologi kapitalisme.[25]

Dewasa ini, ketika dunia didera gelombang globalisasi, pendidikan kian bergeser dari status dan fungsi awalnya. Pendidikan mau tidak mau dipaksa tereduksi hanya sebagai komoditas dan harus terbingkai dalam logika pasar. Lebih parah lagi, pendidikan kita sulit dibedakan dengan pelatihan atau trainning. Metode searah sulit dipungkiri memupus kreatifitas peserta didik dalam mengembangkan corak berpikir bebas. Sekedar contoh, saat SD kita acapkali diberi pertanyaan dimana kita hanya perlu memberi satu kata sebagai jawaban. Misalnya begini, “Pak Tani disawah sedang…“. Untuk menjawab pertanyaan ini murid SD tidak punya banyak pilihan. Guru secara sepihak akan menyalahkan bila isinya bukan mencangkul, memupuk, atau memanen. Padahal, dalam sistem yang demokratis seorang murid bisa mengisinya dengan misalnya, membaca koran (karena sedang istirahat), melakukan rembug mengenai irigasi dsb.

Para ilmuan misalnya, akibat proses pendidikan yang sangat liberal sulit untuk tidak menjadi-meminjam istilah Heru Nugroho-Intelektual ‘asongan‘, yang menjajakan pengetahuannya untuk riset maupun pengembangan wacana yang seringkali adalah proyek pemilik modal. Terjebaknya para ilmuan ini memberi kontribusi besar terhadap macetnya ilmu-ilmu sosial dan ketidakmampuannya menjadi bagian dari problem solving dalam masyarakat. Ilmuan tak jarang terjebak dalam studi-studi keilmuan yang sebenarnya disetting oleh ideologimainstream yang kontra transformasi.

Dalam Magnum Opus-nya Thomas Kuhn, “The Structure of Scientific Revolutions” (1962), ilmuan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki yang bekerja dalam pandangan dunia yang telah mapan. Mereka menjadi sangat sensitif dan kehilangan kearifan dengan mencap kritik terhadap ilmu adalah ‘omong kosong’; serta menggambarkan para pengritik ilmu sebagai para ‘pembual’. Dengan kata lain, para ilmuan telah menjadi aparat status quo dari ideologi hegemonik.

2.  Seriusnya Tragedi UN 2013 (Tajuk Rencana Kompas)

Amburadulnya pelaksanaan awal Ujian Nasional 2013 perlu diberikan perhatian serius. Tingkat kompleksitasnya jauh dari sekadar masalah teknis.

Ada beberapa faktor. Pertama, UN yang berlangsung sejak 2005 tetap menjadi perdebatan walaupun pemerintah terus melakukan perbaikan, di antaranya soal standar kelulusan dan pelaksanaan mengatasi kebocoran.

Kedua, praksis pendidikan di negeri ini tidak pernah lekang dari perdebatan dan kritik. Sebab, persoalannya menjadi persoalan bersama, ada rasa memiliki. Semua merasa butuh dan merasa tahu. Ini tentu hal positif. Namun, ketika dimasuki kepentingan politik praktis, persoalan praksis pendidikan pun menjadi persoalan.

Ketiga, amburadulnya UN 2013, tingkat menengah atas dan menengah pertama, merupakan klimaks dari banyak persoalan sebelumnya. Di antaranya kebijakan buku elektronik (e-book), program sertifikasi guru, dan kurikulum. Dari tiga kasus kontroversial itu, UN paling krusial, paling rumit, dan paling rentan terus dipersoalkan.

Dampak kerusakan pelaksanaan UN tidak hanya sekarang, tetapi juga nanti. Tidak hanya saat anak didik mengerjakan soal, tetapi juga psikologi ketakutan dan kualitas SDM. Padahal, persoalannya gampang dikenali. Naskah soal tak tersedia untuk 11 provinsi sebab belum selesai dicetak. Kebijakan memutuskan UN “jalan terus”, setelah 22 provinsi berlangsung tiga hari, menyisakan sejumlah spekulasi yang masuk akal. Pertama, ketika UN sudah terselenggara di satu daerah, pada saat itu tingkat soliditas nihilnya kebocoran diragukan.

Spekulasi kedua, karena amburadulnya akibat pengadaan naskah (fisik), dan itulah implementasi, menemukan titik kesalahan jauh lebih mudah daripada mengatasi pro-kontra penting tidaknya UN. Diujilah seberapa jauh penanggung jawab UN, Menteri Mohammad Nuh, bersama seluruh perangkat kementerian teknisnya menjelaskan duduknya persoalan.

Kita berharap ada penyelidikan menyeluruh di balik kesemrawutan UN 2013. Hasilnya perlu disampaikan kepada masyarakat. Selidiki proses pengadaan dan pengiriman naskah dan unit mana yang sebenarnya paling bertanggung jawab. Dari hasil penyelidikan menyeluruh terhadap kesemrawutan UN 2013 itu, kita bisa melihat apakah reformasi birokrasi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah berjalan atau belum.Kita yakin Irjen Kemdikbud Haryono Umar, mantan Wakil Ketua KPK, yang memimpin investigasi UN 2013, akan mampu mengungkapkan kesemrawutan pelaksanaan UN 2013 serta menemukan jawaban mengapa UN 2013 bisa bermasalah.

Senyampang itu, lakukan perbaikan pelaksanaan UN SMP dan SD agar berjalan lancar.Kalau kacau terus, di tahun 2020-2030, ketika 100 tenaga usia produktif membiayai 44 tenaga nonproduktif, kita kehilangan kesempatan memetik bonus demografi.[26]

  1. IMPLIKASI PARADIGMA PENDIDIKAN DALAM METODOLOGI; TIGA TIPOLOGI KESADARAN MANUSIA

Meminjam analisis Paulo Freire dalam membagi metodologi pendekatan pendidikan dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran ideologi masyarakat. Tema dasar gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah sebagai proses memanusiakan manusia (humanisasi). Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya membuat masayarakat justru menjadi tidak dimanusiakan (dehumanisasi). Pendidikan sebagai bagian dari sistem masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Sehingga, implikasinya adalah mengkonstruk kesadaran manusia yang beragam. Bagaimana kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem pendidikan dapat secara sederhana saya uraikan sebagai berikut:[27]

  1. Kesadaran Magis (Magical Consciouness)

Kesadaran magis yaitu kesadran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor masalah dengan faktor masalah lain. Misalnya, masyarakat miskin tidak mampu melihat kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia, jadi dalam pendidikan, seseorang murid hanya menerima ilmu dari seorang guru tanpa adanya sikap kritis.

  1. Kesadaran Na’if ( Naifal Consciouness)

Kesadaran na’if ini adalah kesadaran yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia yang menjadi akar penyebab masalah masyarakat.dalam kesadaran ini masalah etika, kreatifitas, dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisa kemiskinan suatu masyarakat mereka mengambil kesimpulan bahwa kemiskinan yang diderita oleh mereka karena kesalahan mereka sendiri. Karena mereka malas, tidak memiliki usaha dsb. Mereka meyakini bahwa struktur yang sudah ada sudah tepat dan benar sehingga dalam pendidikan murid diharapkan bisa masuk dan beradaptasi dengan sistem tersebut.

  1. Kesadaran Kritis (Critical Consciouness)

Kesadaran kritis lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blimming the victims” dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur sosial, politik, ekonomi, budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan melatih murid untuk  mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu seharusnya bekerja, serta bagaimana mentrasformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis ini adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta didik terlibat langsung dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.[28]

KESIMPULAN

 

  1. Pendidikan Transformatif adalah perubahan sosial dan perubahan sosial adalah pendidikan transformatif
  2. Teori transformatif saling tekait dan mendukung dengan konteks, nilai sosial, ekonomi, politik dan kepemimpinan kependidikan untuk mewujudkan suatu perubahan masyarakat sosial dan bangsa khususnya dalam bidang pendidikan.

__________

Reference

[2]Suwarsono & Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1994

[3] Mansour Faqih, “Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Insist Press, Cet. I., 2001) h. 17-43

[4]Dalam:http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2197554-pengertian-paradigma-progressivisme/, diakses, 4 Juni 2012.

[5]Dalam:http://juprimalino.blogspot.com/2012/02/pengertian-paradigma-definisi-paradigma.html, diakses, 4 Juni 2012.

[6] Devinisi ini meminjam uraian Popkewitz. Lihat Popkewitz, Thomas. Paradigm. Grand Forks: University North Dakota, 1970.

[7] Istilah transformasi itu sendiri seringkali dimunculkan oleh Lyotard ketika membahas wacana posmodernisme sebagai lawan dari modernisme. Posmodernisme merupakan kondisi budaya yang memunculkan banyak transformasi yang mengubah rule of the game dalam bidang sains, sastra, dan seni. Di bidang pendidikan, transformasi berupa perubahan aturan main dalam hal aspek, praktek, dan institusi pendidikan yang bertanggung jawab dan mentransmisikan ilmu pengetahuan dan seni. Selanjutnya baca Elliot W. Eisner, “Curriculum Ideologies” in Philip W. Jackson (ed.), Handbook of Research on Curriculum (New York: Simon and Schuster Macmillan, 1996), 314-316.

[8] Materi ini pernah disampaikan dalam program Up Gradding kader PAC. IPNU-IPPNU Badegan Masa Khidmad 2010-2012

[9] Di kalangan warga Nahdliyyin (NU), nilai dasar Aswaja tersebut dikenal dengan (1) Tawasuth (garis tengah) danI’tidal (garis lurus). Sikap tengah yang berintikan prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Dengan sikap ini NU selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan berlaku serta bertindak lurus dan dengan selalu membangun dan menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat Tathroruf/Ekstrim(keras), (2) Tasammuh,Sikap toleranterhadap perbedaan-perbedaan baik masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifatFuru’iyah atau masalah Khilafiyah serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. (3) Tawazun, Sikap seimbang dalam berkhitmad menyelaraskan berhikmah terhadap Allah SWT, hikmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya, menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang, dan (4) Amar Ma’ruf Nahy Munkar,Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik dan bermanfaat dan menolak setiap hal yang dapat merugikan dalam kehidupan kini dan esok.

[10] Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2001:33

[11] Dilema Paradigma Pendidikan, Sumber, Kompilasi Makalah Terpilih, Litbang Bulaksumur Pos 1999-2000

[12] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Manifesto Wacana Kiri:”membentuk solidaritas organik”.Buku Panduan Pelatihan Basis PMII. (INPHISOS Pres Yogyakarta;20010) h. 133

[13] Secara historys, lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah yang berakar pada surau, masjid berasal dari konsep pendidikan yang dikelola oleh warga Nahdlatul Ulama dengan figur Kyai dengan ciri khusus sistem wetonan-sorogan dll, sebagaimana dibuktikan oleh misionaris Zending (kristenisasi) Kolonialis Belanda.

[14] Suwarsono & Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1994

[15]Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan;Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa”.(Pinus Book Publisher;2008) h.105

[16] AsiaDHRRA, h. 301-308. Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Umat Manusia, lihat Antony Giddens,

[17] Kellner, Theorizing Globalization, Sociological Theory, 2002 dalam George Ritzer—Douglas J. Goodman,Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, Cet. III., 2005) h. 590.

[18] Transformasi ini untuk memenuhi kualifikasi lulusan perguruan tinggi agar dapat berkompetisi secara global.

Maka, di Eropa pun terjadi restrukturisasi pendidikan tinggi yang didorong oleh empat stimulus (Jurgen Rosemann dan Andrea Peresthu).

[19] Proses tersebut dipicu oleh krisis financial global yang mengikuti aliran global capital. Dalam aliran financial yang anarkis ini, Negara yang ditinggalkan modal akan mengalami krisis. Dan inilah yang terjadi di Indonesia. Banyak penjelasan terhadap krisis tersebut. Salah satu penjelasan adalah penjelasan ekonomi politik. Penjelasan ekonomi politik berarti memberikan penekanan pada peranan semua kekuatan (power)/segala hal baik proses social maupun kelembagaan, termasuk kekuatan ekonomi maupun elite yang berpengaruh dalam pengambilan kebijakanekonomi (Todaro, 1994:4).

[20] Apabila dua konteks tersebut kita racik maka konteks politik otonomi pendidikan adalah, kebutuhan objektif mengkonsolidir kekuatan untuk menghadapi serangan terhadap legitimasi politik kekuasaan di satu sisi, dan kebangkrutan keuangan negara sebagai dampak pembusukan internal dan masa transisional neoliberal di Indonesia.Perjumpaan dua titik kepentingan inilah yang menjadi basis sosial material otonomi pendidikan.

[21] Shiraishi mengatakan: Lahirnya pendidikan Barat di Indonesia tidak hanya sekuler, namun ia masuk dalam tatanan kolonial yang terbagi secara rasial dan linguistik, serta terpusat secara politik. Dalam pendidikan Barat ini, semakin tinggi sekolah seseorang, maka semakin dekat ia dengan pusat-pusat kota dunia kolonial. Dengan demikian, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang pantas semakin terbuka, namun akan semakin terhisap dalam cara hidup generasi tuanya kolonial. (Shiraishi,1997: 36). Agar  tidak terjerumus di luar kewenangannya, merupakan alasam ahistoris, dan semakin menegaskan bahwa pemerintah tidak mempercayai masyarakat sebagai kekuatan kontrol

[22]  Jumlah tersebut berarti lebih besar dari keseluruhan APBN tahun 2003. Transparancy International pada tahun 2003 memberikan ranking sebagai Negara terkorup ke 122 dari 133 (paling korup). Artinya, persoalannya sebenarnya bukan pada ketidakmampuan negara secara objektif untuk memberikan pendidikan murah bagi rakyat, namun soal keberpihakan politik. Dari berbagai logika di atas, terbangun rasionalitas dalam otonomi pendidikan: tantangan global memang real, dan karenanya harus direspons secara memadahi. Dunia pendidikan memegang kunci dalam konteks ini. Efiesiensi, akuntabilitas, transparansi dalam pengelolaan pendidikan juga merupakan keharusan tak terelakkan. Jika otonomi pendidikan diletakkan dalam konteks ini, maka hal itu memang merupakan kebutuhan real. Hanya saja dua tuntutan di atas menjadi naif dan menipu jika kemudian diterjemahkan dalam konteks otonomi keuangan. Pemaknaan ini manipulatif dan justru berbahaya bagi masa depan bangsa jika melihat problem real bangsa Indonesia. Kebijakan ini mengeksekusi hak rakyat akan pendidikan.

[23] Asia DHRRA, h. 301-308. Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Umat Manusia, lihat Antony Giddens,

[24] Kellner, Theorizing Globalization, Sociological Theory, 2002 dalam George Ritzer—Douglas J. Goodman,Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, Cet. III., 2005) h. 590.

[25] Kapitalisme adalah faham yang mengakui akumulasi modal untuk kepentingan individu dengan sistem menyerahkan mekanisme perdagangan kepada pasar dan menjauhkan dari regulasi (peraturan) pmerintah/negara dengan konsep Invisble Hand (Tangan Ghaib). Kapitalisme memiliki identifikasi yang khas sebagai berikut:
– Sistem ekonomi kapitalisme mentasbihkan kebebasan individu untuk melihat alat-alat produksi dan modal, bukan oleh negara atau yang disebut dengan Hak Individu (individual ownwrship).
– Ekonomi Pasar (market economy) pereknomian pasar berdasar pada prinsip spesialisasi kerja dan hal itu tidak diatur oleh siapapun kecuali kondisi pasar itu sendiri.
– Persaingan (competition) sebagai konsekuensi logis dari berkembangnya ekonomi pasar
– Keuntungan (profit) prinsip keuntungan.

[26] Oh, Indonesia kita!(Tajuk Rencana Kompas, 19 April 2013)

[27]Nur Sayyid Santoso Kristeva, Manifesto Wacana Kiri:”membentuk solidaritas organik”.Buku Panduan Pelatuhan Basis PMII. (INPHISOS Pres Yogyakarta;20010) h. 135-136

[28]Makalah ini pernah disampaikan dalam acara PROGRESIF Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM-KM) INSURI Ponorogo 2010

Harap tunggu, laporan sedang dalam proses submit....

Anda harus login untuk berkomentar. Login Sekarang

Penulis Lainnya

gataadlanata

Penulis ini masih malu-malu menuliskan sedikit tentang Biografinya
Daftar Artikel Terkait :  1
Layanan ini diselenggarakan oleh PT. TELKOM INDONESIA untuk dunia pendidikan di Indonesia.
Mari kita majukan bangsa Indonesia, melalui pemanfaatan Teknologi Informasi yang tepat guna
pada dunia pendidikan Indonesia.
Sistem Informasi Aplikasi Pendidikan
versi 2.0