“Penelitian kami merupakan yang pertama untuk jenis ini, yaitu mengolah temuan-temuan karya empiris lain tentang penentu alur pikiran di pengadilan-pengadilan tinggi.”
“Memang masih harus ditingkatkan dan diperbaiki melalui pengujian sistematis pada lebih banyak data,” demikian menurut salah satu penulis laporan, Dr. Dimitrios Tsarapatsanis yang adalah seorang dosen hukum di University of Sheffield.
Dr. Vasileios Lampos, salah seorang peneliti dari Ilmu Komputer UCL, menjelaskan, “Secara ideal, kami menguji dan memperbaiki algoritma menggunakan aplikasi yang dibuat untuk pengadilan, bukannya keputusan yang telah diterbitkan, tapi tanpa akses ke data ringkasan pengaduan yang telah diterbitkan pengadilan.”
Tim tersebut mencirikan kumpulan data berbahasa Inggris pada 584 kasus yang berhubungan dengan Pasal 3, 6, dan 8 dalam Konvensi HAM Eropa. Mereka kemudian menerapkan algoritma AI untuk menemukan pola-pola dalam teks.
Untuk menghindari bias dan salah ajar pada sistem, mereka memilih jumlah yang seimbang baik bagi kasus-kasus pelanggaran maupun yang bukan pelanggaran.
Hasilnya menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh untuk menduga keputusan pengadilan adalah bahasa yang digunakan, demikian juga dengan topik-topik dan suasana yang tertera dalam teks kasusnya.
Yang dimaksud dengan ‘suasana’ dalam teks mencakup informasi tentang latar belakang faktual kasusnya.
Menurut Dr. Lampos, “Sejumlah penelitian sebelumnya memberi prediksi hasil berdasarkan sifat alamiah kejahatannya ataupun posisi kebijakan masing-masing hakim, sehingga inilah pertama kalinya peradilan memberi prediksi menggunakan analisis teks yang dipersiapkan oleh pengadilan tersebut.”
“Kami berharap bahwa alat bantu seperti ini akan meningkatkan efisiensi pada di pengadilan ad hoc tingkat tinggi. Tapi, agar menjadi kenyataan, kita perlu mengujinya dengan lebih banyak artikel dan data kasus yang diajukan ke pengadilan.”
Penelitian ini telah diterbitkan pada Senin 24 Oktober 2016 dalam jurnal PeerJ Computer Science.