Artikel Kategori // Opini & Ide
Setidaknya ada tiga potensi yang memberi ruang bagi tumbuh-kembangnya krestivitas sastra di pesantren. Jika ketiga potensi ini diberdayakan dengan baik, santri akan mampu melahirkan karya sastra secara produktif dan kreatif. Ketiga potensi tersebut adalah energi al-Qur’an, tradisi nazam, dan suasana kehidupan pesantren yang sufistik-religius.
Semua sudah maklum bahwa al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Kitab ini menjadi referensi ritual, sumber hukum, dan mata air hikmah. Namun, lebih dari itu, kitab yang diturunkan Allah pada Nabi Muhammad ini juga memiliki energi estetis yang dahsyat, baik dari segi bentuk maupun isinya.
Dari segi bentuk, al-Qur’an terbukti memiliki struktur kebahasaan yang memesona. Setiap kata tertata secara efektif dan proporsional. Diksinya matang. Penuh daya pukau. Menghidupkan imajinasi. Menggugah emosi. Dengan segala kualitasnya itu, al-Qur’an niscaya memberi ruang tafsir estetis yang menggugah sekaligus daya rangsang kreatif bagi lahirnya karya sastra, entah puisi entah prosa.
Bahwa al-Qur’an sangat potensial dalam menggugah dan merangsang pembacanya untuk melahirkan karya puisi, hal ini dinyatakan dengan tegas oleh Anniemarie Schimmel, seperti dikutip Abdul Hadi (1985). Menurutnya, al-Qur’an kaya akan simbol dan imajinasi serta merangsang pembacanya untuk mencipta puisi dan melakukan tafsir puitik. Citraan-citraannya dengan mudah dapat dialihkan menjadi simbol-simbol yang benar-benar puitik.
Fakta tentang potensi sastrawi al-Quran ini sejatinya menjadi inspirasi bagi para santri untuk melahirkan karya sastra. Santri tentu sangat dekat dan akrab dengan al-Qur’an. Setiap hari mereka berinteraksi dengan al-Quran. Kalau tidak membaca sendiri, mereka mendengarkannya lewat alunan pengeras suara atau bacaan teman. Dengan kata lain, al-Qur’an dan santri sudah menjadi pasangan sinergis yang selayaknya membuka pintu-pintu kreativitas.
Almarhum H.B. Yassin, sang kritikus besar sastra Indonesia, mengaku menemukan muara estetisnya pada al-Qur’an. Di dalamnya ia menangkap vibrasi dan energi puitik yang dahsyat. Sesuatu yang kemudian menggerakkannya untuk melakukan penerjemahan puitik terhadap kitab suci tersebut. Dari tangannya lahirlah terjemahan al-Qur’an berbentuk puisi, Al-Quran Bacaan Mulia. Padahal, ia tidak memahami bahasa Arab. Terjemahan yang ia lakukan lebih mengandalkan referensi terjemahan al-Qur’an berbahasa Inggris. Sayang, tak lama setelah terbit dan menginjak pasar, buku ini lalu ditarik ulang. Karya besar ini dianggap tak lumrah, menyalahi kepakeman, dan dikhawatirkan menimbulkan kesalahan pemahaman terhadap al-Qur’an di kalangan masyarakat awam.
Potensi kedua adalah tradisi nazam. Tradisi ini sudah mengakar kuat di lembaga pesantren, termasuk di Annuqayah. Hampir semua disiplin ilmu keagamaan berbahasa Arab menggunakan nazam sebagai media ungkapnya. Dari ilmu Fikih, Tauhid, Ushul, hingga ilmu Manthiq (Logika). Semua memiliki khazanah teks yang ditulis dalam bentuk nazam.
Tradisi ini tentu memiliki pengaruh positif terhadap lahirnya karya sastra di pesantren. Santri mestinya dapat menangkap nuansa puitik ini pada setiap gerak kegiatan pembelajaran mereka. Sebuah nuansa yang sejatinya mampu memberi efek kreatif untuk melahirkan karya sastra. Minimal yang berbentuk puisi.
Pada potensi nazam ini, dapat dimengerti kenapa karya sastra yang lahir dari pesantren lebih banyak berupa puisi. Santri lebih produktif menulis puisi daripada prosa, apalagi drama. Khusus di Annuqayah, fenomena ini cukup terbukti. Tak sedikit penyair yang sudah punya nama, baik di tingkat regional maupun nasional, lahir dari bumi pesantren ini. Lebih tak sedikit lagi penyair yang hanya menyimpan karyanya di buku harian sebagai koleksi pribadi.
Potensi ketiga adalah suasana kehidupan pesantren yang sufistik-religius. Kehadiran sastra dan sufisme merupakan sebuah harmoni. Santri yang dididik untuk melaksanakan praktik keagamaan dengan penuh disiplin, pada gilirannya tentu akan menemukan pengalaman rohaniah yang luas dan kaya. Akan merasakan nilai-nilai spiritual yang luhur dan sakral. Pengalaman dan perasaan ini mesti diberdayakan secara intens agar menjadi energi batiniah yang menggerakkan tangan mereka untuk berkarya.
Kehidupan pesantren yang sufistik dan religius ini sejatinya menjadi mata air untuk menimba topik dan tema. Dengan begitu, sastra pesantren memiliki muatan spiritual yang menyentuh sisi kemanusiaan terdalam dan paling esensial. Bukankah Tuhan dan agama merupakan naluri primordial manusia?
Wallahu a’lam
Jaddung, 10.54 : 19 Februari 2017
Artikel Terkait
Anda harus login untuk berkomentar. Login Sekarang
Penulis Lainnya

venky ven
Penulis ini masih malu-malu menuliskan sedikit tentang Biografinya- Best DLSR Camera Under 20k & 25k for Photo Lovers 18 February 2017 - 06:07
- Best Android Smartphone Under 15k In india 18 February 2017 - 06:01
Komentar Terbaru
- Etos Kerja Guru PNS yang Buruk 10 Tahun yang lalu
- Cetak Kartu Digital NUPTK/PegID 9 Tahun yang lalu
- Bangga memiliki email user@madrasah.id 8 Tahun yang lalu
- Syarat Mengikuti Verval Inpassing 8 Tahun yang lalu
- KITAB SIAP PADAMU NEGERI v1.0 9 Tahun yang lalu
Kategori
- Lain-Lain (984)
- Pendidikan (446)
- Informasi Umum (360)
- Opini & Ide (218)
- Tips & Trik (192)
- Teknologi (94)
- Internet & Media Sosial (83)
Kaitan Populer