Tutorial DasarSIAP Wacana

Artikel Kategori // Pendidikan

Beranda / Pendidikan / Kisah pilu pelajar SD di pedalaman Borneo
Kisah pilu pelajar SD di pedalaman Borneo
0 Komentar | Dibaca 2345 kali

Dalam keterbatasan anak-anak ini masih punya mimpi. Keadaan tidak menyurutkan niat mereka untuk tetap bersekolah. Meski sampai detik ini perhatian masih sangat minim diberikan.

Seragam bocah-bocah ini lusuh. Warnanya sudah menguning. Tak lagi putih seperti dipakai pelajar di kota-kota besar. Coba tengok ke bawah. Celana sudah tak bisa dikancing. Kaki mereka dekil, hanya sandal butut sebagai pelindung. Boro-boro berpikir beli sepatu.

Sekarang lihat yang mereka tenteng. Hanya kantong kresek. Anak-anak ini tak memiliki tas. Alat tulis, buku pun harus berbagi satu sama lain saat belajar.

 

Mau tahu bagaimana pelajar ini sampai sekolah? Dengan berjalan kaki. Jarak tempuhnya tentu berbeda-beda. Terjauh ada yang sampai 45 menit. Bayangkan anak sekecil itu harus menembus hutan di pedalaman dengan jalan berbukit. Belum lagi medan berlumpur.

Kisah pilu ini diceritakan oleh seorang guru. Namanya Anggit Purwoto. Sudah tujuh bulan Anggit mengabdi dari satu tahun masa tugas. Dia ikut program Sarjana Mendidik Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

SDN 04 terletak di Desa Sungkung, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Berbatasan dengan Malaysia. Butuh waktu kurang lebih dua hari dari Bengkayang ke desa dengan jalur darat. Jika cuaca buruk tentu sampainya lebih lama lagi.

“Saya sampaikan ke anak-anak untuk fokus belajar jangan pedulikan kondisi. Tetap semangat menatap masa depan. Mereka punya mimpi,” kata Anggit saat berbincang dengan merdeka.com, Minggu (2/4).

 

Bagimu negeri… Kuceritakan sepintas sebuah kisah pengabdian saya di daerah perbatasan indonesia-malaysia.. Sungkung sebuah desa yg sangat terisolir jauh dari kata kemajuan… Butuh perjalanan 2 hari dari kota kabupaten sendiri yaitu kabupaten Bengkayang, akses jalan aspal terdekat adalah di kecamatan entikong kabupaten Sanggau, untuk menuju jalan aspal terdekat membutuhkan waktu 8 jam menggunakan sampan menyusuri sungai sekayam, dan 4 jam jalan darat jika jalan kering, jika basah tidak bisa di prediksi.. Minimal butuh biaya 600 ribu dr kota kabupaten sendiri yaitu kabupaten Bengkayang untuk sampai di desa sungkung… Produk-produk buatan malaysia sangat mendominasi wilayah ini, disini berlaku 2 mata uang yaitu ringgit dan rupiah.. Hidup tanpa listrik, sinyal pun harus naik bukit yg jarak tempuhnya 45 menit jalan kaki dari Asrama.. Kebutuhan pokok harga berkali-kali lipat.. Contoh Harga semen mencapai 450 ribu per sak, gas lpg 3 kg 80 ribu… Batas negara hanya di batasi oleh igir pegunungan.. agar tetap bisa menyambung sebuah coretan tinta di buku, tak sedikit anak sekolah (SD, SMP, SMA) yang bekerja di malaysia ketika liburan, untuk membayar uang bulanan sekolah .. Mereka tau benar bahwa hidup di negara tetangga sarawak malaysia jauh lebih sejahtera, tapi mereka masih memiliki rasa kebangsaan yang tinggi..berfikir dua kali untuk menjadi warga negara di negara seberang.. Bagaimanapun mereka lebih memilih 'hujan batu' di negeri sendiri daripada 'hujan emas' di negeri orang…… Seragam kusam yang tidak lagi berwarna merah putih segar bukan berarti kami tidak memiliki rasa cinta tanah air…. #NASIONALISME

A post shared by Anggit Purwoto (@anggitpurwoto) on

Di desa itu ada 4 SD, 1 SMP dan 1 SMA. Semuanya berada dalam satu kompleks. Jaraknya tidak terlalu jauh. Untuk SD jam masuk sekolah pukul 07.00 WIB sampai 11.00 WIB. Kadang banyak siswa sampai di sekolah sudah kelelahan.

Anggit sendiri sebenarnya ditugaskan mengajar di SMA bersama dua rekannya. Dua lainnya di SMP. Disayangkan Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkayang tak menempatkan para sarjana pendidikan ini di tingkat sekolah dasar.

Tak ada guru tetap di sana. Sering kali kelas kosong. Biasanya, kata Anggit, kebanyakan guru mengajar selama dua minggu dalam sebulan. Sisanya libur. Kondisinya ini tak dipersoalkan karena rata-rata guru dari kota dan sudah berkeluarga.

“Makanya saya berinisiatif, sukarela mengajar di SD,” kata jebolan Universitas Muhammadiyah Purwokerto itu. Pria 23 tahun ini mengajar IPA, menulis, baca, hitung dan bernyanyi.

 

Jangan makan hak kami Pak Pejabat… Pak pejabat tinggi negara, bapak yang memiliki kuasa besar… Tolong jangan telan uang rakyat, hak rakyat.. Hanya demi memenuhi nafsu besarmu, untuk bisa selalu bergaya hidup mewah.. Ketika kau mau makan uang haram itu, lihat kami disini !! Kami hanya salah satu contoh korban kerakusanmu… Masih banyak bernasib sama seperti kami gara-gara ulahmu… Lihat kami disini !! Kau yg terlalu kejam memakan hak layak pendidikan Indonesia! Kami hanya ingin layak seperti siswa di kota! Apakah kau yang memakan uang haram tertawa melihat seragam lusuhku, seragam yang menjadi Lap Mobil Mewahmu pun tidak layak… tapi ini seragam kesayanganku pak ! Masih tertawa melihat sisi gelap pendidikanku? Tak masalah ! Asal kau tidak menertawakan teman-temanku di pelosok Papua, pelosok Maluku, seluruh pelosok Indonesia… Itu adalah temanku yang bernasib sama denganku di pelosok !!! Tapi biarlah….kubiarkan kau hidup mewah dgn uang haram sambil tertawa….. Dan biarkan aku tetap hidup dengan kesederhanaan pendidikan disini, yang di balut dengan ketulusan Guru-Guruku disini, di batas negara…dengan semangat tak terbatas…. "Eligen Tomas- Kelas 1- Sdn 04 Sungkung, Siding, Bengkayang"

A post shared by Anggit Purwoto (@anggitpurwoto) on


Menurut Anggit, tak hanya siswa, kondisi bangunan sekolah juga memprihatinkan. Namun yang paling dibutuhkan adalah seragam layak dan alat tulis. Total ada 135 pelajar, 59 laki dan 66 perempuan.

“Kondisinya sangat membutuhkan. Ketika pelajaran tidak punya pensil karena kebutuhan pokok mahal,” ungkapnya.

Waktu belajar siswa juga terbatas. Ketika langit gelap sudah tak ada lagi penerangan. Listrik belum masuk. Panel surya menjadi solusi. Tapi tidak bisa menjangkau seluruh kebutuhan.

Dia berharap pemerintah daerah sampai pusat tergerak. Anak-anak ini adalah generasi penerus bangsa. Mereka punya hak untuk memperoleh pendidikan layak.

“Perhatikan pendidikan di pedalaman. Ibaratnya ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ benar ada. Tidak hanya di satu pulau saja,” harap Anggit.

Sumber

Harap tunggu, laporan sedang dalam proses submit....

Anda harus login untuk berkomentar. Login Sekarang

Penulis Lainnya

Amalia ina

Penulis ini masih malu-malu menuliskan sedikit tentang Biografinya
Daftar Artikel Terkait :  38
Layanan ini diselenggarakan oleh PT. TELKOM INDONESIA untuk dunia pendidikan di Indonesia.
Mari kita majukan bangsa Indonesia, melalui pemanfaatan Teknologi Informasi yang tepat guna
pada dunia pendidikan Indonesia.
Sistem Informasi Aplikasi Pendidikan
versi 2.0